Friday, August 29, 2014

Chapter 3 : "Makan Malam yang Sempurna"

Ketiga berkas yang diberikan oleh Bu Rita pagi ini sudah hampir selesai ku revisi. Tidak banyak kesalahan yang ada didalam berkas-berkas ini, jadi, aku tidak perlu pusing-pusing untuk merevisi nya. Lagipula, bukan aku yang seharusnya mengerjakan tugas ini, tetapi Bella. Bella adalah rekan kantor ku sama seperti Maulida, tetapi Bella bekerja dibagian admin, berbeda dengan ku dan Maulida. Sudah 2 hari ini Bella tidak masuk kantor karena sakit, jadi, Bu Rita memberikan tugasnya kepadaku, mungkin karena Bu Rita melihat ku sedang tidur dan tidak melakukan tugas apapun pagi tadi, sebab itu dia menyuruhku untuk merevisi berkas ini. Aku dan Maulida berencana menjenguk Bella sore ini setelah pekerjaan kami selesai. Sudah hampir sore, suasana kantor mulai ramai oleh obrolan-obrolan pegawai lain yang sedang bercengkrama satu sama lain, terlihat Maulida sedang menggunakan mesin foto copy yang tidak jauh dari meja ku. Tak lama kemudian, ia menghampiri meja ku, “Belum selesai juga, Dan?”.
“Udah kok! Tinggal kubaca sekali lagi agar tak ada kesalahan.”, jawab ku.
“Oh, bagus deh. Cepat cetak dan berikan ke Bu Rita, sepertinya ia sudah menunggumu di ruangannya. Pokoknya, jangan sampai aku mendengar suara lantang Bu Rita saat kamu berada diruangannya ya!”, Maulida tertawa.
“Sudah lah, jangan menakut-nakuti ku seperti itu. Mungkin besok giliranmu untuk mengerjakan tugas-tugas Bella.”, aku pun tertawa.
Berkas ini sudah siap untuk ku berikan kepada Bu Rita, aku harap suasana Bu Rita sore ini sedang cerah, jadi tidak terlihat muka dingin nya saat ku ketuk pintu ruangan. aku berdiri dari bangku kerjaku dan melangkah menuju ruangan Bu Rita. Lagi-lagi suara Maulida yang kudengar, “Good luck ya, Dan!”.
Lalu aku jawab, “Ah, kamu berlebihan. Aku hanya ingin memberikan tugas ini, bukan ingin wawancara masuk kerja.”
Saat didepan ruangan Bu Rita, ada sesuatu yang menahanku untuk mengetuk pintu ruangan itu, dari jendela ruangan, Bu Rita terlihat sedang berbicara dengan seorang laki-laki, jadi aku memilih untuk menunggu diluar ruangan sampai orang itu keluar. Bu Rita sangat tidak senang apabila ada orang yang mengganggu percakapan antara ia dan orang lain. Setelah kurang lebih 15 menit, laki-laki tersebut akhirnya meninggalkan ruangan. Laki-laki yang sudah cukup tua, dengan memakai rompi dan kupluk yang terpasang dikepalanya tersenyum menyapa saat melihatku. Ia terlihat begitu ramah, mungkin ia adalah suami dari Bu Rita. Aku pun bergegas masuk ke ruangan, aku tidak mau terlambat memberikan berkas ini.
“Semua sudah saya revisi, Bu? Semoga tidak ada kesalahan.”, ucap ku.
Bu Rita memakai kacamatanya, “Bagus. Kamu jangan keluar ruangan sebelum saya selesai membaca nya.”
“Baik, Bu.”, jawabku.
Saat Bu Rita sedang membaca berkas tersebut, aku berkesempatan untuk melihat-lihat isi ruangan nya, aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini, karena ini pertama kalinya aku masuk keruangan sang manajer. Terlihat beberapa bingkai foto anak-anak Bu Rita, dan beberapa aksesori ruangan lainnya. Ruangan ini cukup cerah dengan dinding yang berwarna biru muda, warna dinding yang berbeda dengan dinding kantor, yaitu putih. Bu Rita pun selesai membaca, ia tersenyum, “Baiklah, saya rasa ini sudah cukup. Terima kasih atas bantuan nya, Dan.”
Mataku langsung tertuju kepada nya, aku senang melihatnya tersenyum, karena tidak semua pegawai dikantor dapat melihat senyumannya itu, “Oh iya, Bu. Sama-sama.. Saya senang kalau ternyata tidak ada kesalahan dalam revisi itu.”
Aku pun segera beranjak dari ruangan tersebut dan mulai bersiap-siap untuk pulang. Maulida sepertinya sedang menunggu seseorang dengan telepon genggam ditangannya.
“Kok kamu belum pulang? Mau dijemput sama cowok ya? Ciyeeeeeeee..”, aku pun bergurau.
            “Aku menunggumu, kita kan mau jenguk Bella. Kamu lupa?!”, jawabnya dengan kesal.
Aku pun menepuk dahi ku, “Oh iya! Maaf, Lid, aku lupa. Kita kerumah ku dulu ya buat ambil motor, jadi kita kerumah sakitnya naik motor saja, lalu aku bisa antar kamu pulang sampai rumah.”
Maulida hanya mengangguk dan kembali memainkan telepon genggam nya. Karena rumah sakit tempat Bella dirawat tidak jauh dengan tempat tinggalku, jadi aku bisa sekaligus mengantar Maulida pulang kerumahnya dengan menggunakan motor ku. Aku tidak pernah mengantar Maulida pulang, oleh karena itu, nanti adalah pengalaman pertama ku untuk mengantarnya pulang. Dari kantor, kami menaiki bus Transjakarta menuju rumah ku. Seperti biasanya, Transjakarta penuh dengan pegawai-pegawai yang terlihat lelah setelah seharian bekerja. Kami pun sampai di halte dan berjalan ke komplek tempat ku tinggal di daerah Bulungan. Sesampainya dirumah, mata Maulida melihat-lihat sekitar rumahku, “Wah, rumah kamu bagus ya. Halaman nya enak banget, ada pepohonan yang rindang gini, sejuk.”.
Aku tertawa, “Ah, kamu bisa aja. Di komplek ini, rumah ku adalah rumah yang paling sederhana daripada yang lain tau.”
Motor segera ku keluarkan, karena jam besuk sore di rumah sakit tidak lama lagi akan dibuka. Kami pun berangkat ke rumah sakit dan menyempatkan untuk berhenti di toko buah dan membeli sebuah parcel yang berisi buah untuk Bella.
Satu jam kami berada dirumah sakit, terlihat Bella dengan muka pucatnya. Ia senang sekali dengan kedatangan kami berdua, dan ternyata kami adalah rekan kantor pertama yang menjenguknya dirumah sakit. Bella terkena DBD, ia mengingatkan kami berdua, termasuk aku yang mempunyai halaman didepan rumah untuk membersihkan tempat-tempat yang berantakan dan lembab agar tidak ada nyamuk-nyamuk penyebab DBD berkeliaran dihalaman. Aku pun tidak lupa untuk menceritakan pengalamanku dalam mengerjakan tugasnya sebagai admin kantor tadi pagi, dan mereka berdua pun tertawa mendengar cerita ku.
Aku dan Maulida sudah dalam perjalanan pulang kearah rumah Maulida yang berada di Prapanca. Terdengar Maulida berseru, “Dan, nanti ada café didepan, kita mampir dulu ya, aku lapar.”
Aku pun membelokkan motor ke café tersebut. Café dengan setting-an tempat yang cukup unik, saat kami masuk, kami disambut seorang waiter yang mengantarkan kami ketempat duduk yang tersedia untuk kami berdua. Latar tempat café yang berupa luar angkasa, dengan replika planet-planet yang menggantung dilangit-langit café dan live music yang terdengar indah ditambah dengan perempuan yang kusukai duduk dengan wajahnya yang sungguh manis didepanku, membuat makan malam kali ini terasa sempurna. Seorang waiter datang dengan membawa sebuah buku dan pulpen, menanyakan pesanan kami. Setelah semua pesanan kami tercatat oleh waiter. Aku menatap Maulida, “Lid.. Aku………”
Maulida bingung, “Kamu kenapa? Mulai deh aneh nya..”
“Aku ketoliet sebentar ya.”, jawab ku.
“Yaudah sana, dasar aneh.”, muka nya terlihat sebal.
Aku tertawa dan beranjak dari tempat duduk. Sesungguhnya, aku tidak benar-benar ke toilet, tetapi aku ingin menghampiri seseorang yang sedang bermain musik diatas stage untuk meminta memutarkan lagu-lagu dari band kesukaan Maulida, Maroon 5.
Aku kembali duduk, “Aku gak aneh tau, tadi itu cuma bercanda aja………”
Maulida menyuruhku untuk diam dengan muka girang, “Ssssssttt, denger deh, mereka bawain lagu Maroon 5, pas banget, ya ampun.”
Dengar perkataannya, aku pun tertawa.
“Oh iya, kamu udah hubungi Pak Andhika?”, ia bertanya.
“Belum.. Tugas yang Bu Rita kasih tadi cukup menyita waktu untuk dimengerti jadi aku belum sempat untuk menelponnya, kamu liat sendiri kan aku selalu ada didepan komputer hari ini?”, ujar ku.

“Hmm, yaudah kalo gitu, cepat hubungi, mungkin Ayah mu sangat ingin kamu untuk menemui Pak Andhika. Eh, itu makanan kita datang! Yeay! Makan!”, Maulida tertawa kecil.

Wednesday, August 27, 2014

Chapter 2 : "Temani Aku Ya?!"

Alarm berdering pukul 5 pagi, membangunkan ku dari alam mimpi. Matahari mulai menunjukkan sinarnya, udara pagi yang terasa segar dan jauh dari polusi-polusi kendaraan bermotor yang biasa menghiasi udara di Jakarta. Keluar dari kamar dan melangkah ke depan halaman rumah untuk menikmati Jakarta pagi yang begitu sejuk. Sedikit olahraga pagi cukup untuk membuatku lebih fit dalam menjalani hari ini. Beberapa pedagang menjajakan dagangannya dengan membawa kendaraan mereka, seperti sepeda, motor, bahkan ada pedagang yang menjajakan barangnya dengan mobil pick up. Itulah pemandangan yang biasa kulihat dipagi hari. Hari Senin ini sering disebut-sebut sebagai hari tersibuk, oleh karena itu, aku membiasakan diri untuk bangun lebih pagi dari hari yang lainnya. Aku hidup sendirian dirumah yang tidak begitu besar, memiliki dua kamar dengan kamar mandi, satu ruang tamu, dan dapur yang bercampur dengan ruang makan. Mengerjakan pekerjaan rumah sudah biasa kulakukan saat sebelum pergi, atau pulang dari kantor. Sejak pindah ke Jakarta, aku mulai belajar melakukan semua kegiatan tersebut, biaya hidup yang tidak murah di Jakarta menuntutku untuk hidup mandiri agar terbebas dari beban-beban biaya hidup yang sebenarnya tidak perlu aku keluarkan untuk hal yang bisa kulakukan sendiri. Memasak contohnya, aku mulai pandai memasak beberapa makanan khas Indonesia, tidak hanya itu, sampai saat ini, aku juga sedang belajar berbagai masakan dari luar Indonesia. Tak sedikit buku resep makanan yang ku punya dirumah. Pagi ini aku membuat telur dengan corned beef yang kucampur menjadi satu, ini adalah sarapan pagi favoritku, selain enak, aku juga tidak terlalu repot dan lama untuk membuatnya. Jarum jam dinding berada pada pukul tepat enam pagi, setelah menyantap sarapan pagi, aku pun mulai untuk bersiap-siap diri dan pergi ke kantor.
Jarak antara kantor dan rumah yang tidak terlalu jauh, memudahkan ku dalam mengatur waktu. Karena Jakarta hampir selalu macet dipagi hari, apalagi jam masuk kerja, aku lebih memilih menggunakan kendaraan umum daripada kendaraan pribadi. Motor matic yang ku punya selalu berada dirumah, jarang sekali kupakai untuk pergi ke kantor jika tidak ada keperluan yang sangat mendadak. Jembatan halte bus Transjakarta sudah penuh dengan antrian pegawai-pegawai yang sedang mengejar waktu, jumlah Transjakarta yang lewat pun begitu banyak, setiap 15 menit sekali, satu-persatu bus transit di halte ini. Pandangan ku tertuju ke arloji yang melingkar ditangan. Sekitar 55 menit lagi aku harus sudah ada dikantor, atau aku akan telat. Aku benci jika harus telat masuk kantor, akan ada omongan-omongan pedas dari sang manajer kantor yang akan terngiang-ngiang ditelinga sepanjang hari. Omelan itu bisa sangat mengganggu untuk fokus dalam mengerjakan semua tugas. Aku bekerja sebagai programmer disebuah perusahaan yang tidak begitu besar. Fokus adalah resep utama dalam pekerjaan ku ini, coding dan logika adalah  komposisi, dan sebuah program adalah hasilnya. Program memuat cukup banyak coding dan logika. Jika terdapat satu kesalahan pada coding atau logika, program tidak bisa berjalan dengan semestinya atau bahkan tidak bisa berjalan sama sekali, jadi kita harus tetap fokus sampai program bisa berjalan dengan baik.
Aku sudah berada didalam Transjakarta bersama puluhan pegawai lain yang saling berdesak-desakan. 3 halte lagi aku akan sampai di tempat tujuan, Dukuh Atas. Tersisa 25 menit lagi sebelum jam masuk kantor, yaitu pukul 08:30.  Sesampai nya di Dukuh Atas, aku langsung loncat keluar bus dan berlari menuju kantor. Kantor ku yang hanya berbeda beberapa blok dengan halte bisa ditempuh dalam waktu 4 menit jika dilakukan dengan berlari.
Sampai dikantor, tidak telat, dan badan yang terasa lelah karena berlarian mengejar waktu. Bangku ruang kerja yang terasa nyaman membuatku merasa ngantuk, ditambah dengan udara AC yang begitu sejuk. Karena belum ada pekerjaan, aku memutuskan untuk memejamkan mata sejenak.
Seseorang mendorong-dorong pelan badan ku, “Dan! Dani! Bangun..”
Aku membuka kedua mata, “Ah kamu, Lid. Ganggu istirahat ku aja.”
“Ini kantor, Dan. Bukan rumah mu! Lihat Ibu manajer sedang berada diluar ruangan untuk memperhatikan kita bekerja.”, Maulida berseru.
Maulida adalah teman terbaik ku dikantor. Ia selalu menemani ku makan siang, dan selalu membantu mengecek jika terdapat kesalahan pada program yang ku buat sebelum aku mempresentasikan didepan para klien. Maulida lebih muda dua tahun dari ku, ia tidak banyak omong, tidak suka cari perhatian didepan manajer seperti teman kantor ku yang lain, tipikal orang yang bisa membuat orang lain nyaman berada didekatnya, aku suka dia.
Rita, itu adalah nama sang Ibu manajer. Bu Rita datang menghampiriku, “Kamu habis tidur ya, Dan?!”
“Ah, engga kok, Bu.”, aku berbohong untuk menyangkalnya.
“Kamu tidak usah berbohong, itu mata kamu berair seperti orang habis bangun tidur.”, Bu Rita membalas dengan nada yang cukup kesal.
Aku mengusap mata, “Oh, tadi saya habis menguap, Bu. Mungkin karena itu mata saya berair.”
“Terserah apa katamu saja.. Ini, tolong cek berkas ini. Jika ada kesalahan cepat direvisi, berkas ini harus ada di meja saya sore ini. Jangan sampai ada klien yang kecewa karena ketelatan yang kita buat.”, Bu Rita pergi dan meninggalkan beberapa berkas dimeja kerja.
“Siap, Bu!”, aku menyanggupi tugas tersebut.
Maulida tertawa, “Makanya, jangan tidur pas jam kantor udah dimulai.”
“Sssssssttt, sudah lupakan. Mari bantu aku untuk menyelesaikan ini, setelah itu kita makan siang bersama.”, ajak ku.
“Untuk tugas itu aku akan menolak, tapi untuk makan siang, kamu yang teraktir ya!”, Maulida tertawa.
Aku menatap matanya dengan memasang muka datar, “Hmm, baiklah..”
Berkas yang Bu Rita berikan cukup banyak menyita waktu, tidak terasa waktu makan siang sudah hampir tiba. Mata ku tertuju pada monitor, tiba-tiba Maulida mengagetkanku dengan senyuman yang terpancar diwajahnya, “Hai! Ayo kita makan!”.
Aku pun kaget, “Ah, kamu mengagetkan ku saja. Tunggu sebentar, aku simpan revisi berkas ini dan mematikan komputer dulu.”
Kami keluar kantor untuk makan siang..
“Kita mau makan dimana, Dan? Kantin tempat biasa?”, Maulida bertanya kebingungan.
“Sudah, kamu ikuti aku saja.. Kamu pasti suka.”, aku menjawab.
Aku ajak Maulida ke tempat makan yang baru saja dibuka dua hari lalu, yang berada tepat diseberang kantor. Tempat makan ini belum terlalu banyak yang mengunjungi karena masih baru. Kami makan bakso, iya, Maulida sangat suka bakso, ditempat makan ini ada berbagai macam bakso yang dijual, ia terlihat sangat senang saat melihat menu yang disediakan.
“Ah, kamu paling tau deh kesukaan ku..”, ucap Maulida.
“Tau dong! Kamu kan………………………”, aku berhenti berkata.
Maulida terlihat bingung, “Aku apa?”
“Sudah, kamu pesan aja bakso nya, udah lapar kan?”, aku tertawa.
“Yaudah, aku pesan semuanya ya!”, gurau Maulida.
Aku pun hanya tertawa mendengar gurauan nya.
Perut kami sudah terisi oleh santapan makan siang, Maulida terlihat senang, ”Wah, enak ya.. Besok kita kesini lagi, masih banyak menu yang belum aku coba!”
“Terserah kamu saja, Putri.. Tapi lain kali, kamu yang teraktir ya!”, aku pun tertawa.
Aku mengeluarkan dompet untuk membayar semua makanan ini, tiba-tiba ada secarik kertas yang terjatuh dari dompet. Maulida mengambilnya, “Kartu nama siapa ini, Dan?”
“Oh, itu kartu nama rekan kerja Ayah ku dulu.. Ia seorang fotografer, sama seperti Ayahku.”, Jawabku.
“Lalu, mengapa kau punya kartu nama orang ini?”, Maulida bertanya kembali.
“Nanti aku jelaskan dijalan menuju kantor..”, jawabku.
Aku pun menjelaskan semuanya saat berjalan pulang kearah kantor.
“Wah, cepat kamu hubungi! Oh iya, kamu harus ajak aku ya kalau ingin menemui Pak Andhika..”, Maulida terlihat antusias.
Aku tersenyum melihat dirinya, “Iya, nanti aku hubungi dia. Baru aku ingin mengajakmu tadi, tapi kamu sudah lebih dulu menawarkan diri.”
Maulida tertawa, “Aku senang berfoto-foto tau, makanya aku antusias seperti ini, siapa tau Pak Andhika bisa menjadikan ku model nya.”
Aku menatap mata nya dan tersenyum, “Wah, baiklah kalo gitu. Temani aku ya?!”


Tuesday, August 26, 2014

Chapter 1 : "Paket Misterius"

Minggu pagi yang cerah di Jakarta, duduk di halaman rumah dengan ditemani segelas teh manis hangat, dan dua potongan roti tawar yang berisi selai nanas kesukaan ku. Hari-hari yang panjang telah berakhir, hari ini adalah hari dimana aku dapat merelaksasikan badan dan pikiran dari dunia yang penuh lika-liku. Sebelum matahari terbit, aku membiasakan diri untuk keluar rumah dan mengitari komplek. Iya, aku jogging pagi, itu sudah menjadi rutinitas ku setiap minggu pagi sebelum relaksasi atau duduk-duduk dihalaman rumah. Karena pekerjaan kantor yang banyak menghabiskan waktu untuk duduk didepan komputer sepanjang hari, jadi, aku harus melakukan rutinitas jogging ini untuk menyeimbangkan kesehatan badan ku.
Tadi saat jogging melewati depan gerbang komplek, ada suara sapaan seseorang yang selalu menyapa ku saat jogging pagi.
“Pagi, Mas Dani..”, sapaan Satpam itu terdengar oleh ku.
Lalu ku balas dengan senyuman kecil, “Pagi juga, Pak.”.
“Mas, tunggu dulu sebentar..”, panggilan Satpam tersebut menahan langkah lari ku untuk melanjutkan jogging.
“Ini ada kiriman paket, Mas. Saya terima kemarin sore dari seorang kurir, tadinya mau saya biarkan kurir itu kasih paket ini kerumah Mas langsung, tapi saya agak khawatir, karena paket ini agak misterius, dengan berbentuk kotak besar yang cukup berat, nama pengirimnya dan alamatnya juga tak jelas, jadi saya tahan dulu di pos ini.”, ucap Pak Satpam.
Aku cukup terkejut melihatnya, karena tidak biasanya aku dapat paket sebesar ini, apalagi aku tidak pernah membeli apapun di online shop atau meminta orang untuk mengirimkan barang lewat kurir. Saat kulihat nama pengirimnya, aku tersenyum, “Oh iya, Pak. Makasih ya..”.
“Iya, Mas. Nanti kalau ada apa-apa, langsung telepon ke pos ya, Mas.”, seruan Pak Satpam.
Lalu aku mengangguk dan membawa paket itu pulang kerumah. Jogging kali ini tidak terlalu memakan waktu lama seperti biasanya, karena aku sudah penasaran dengan isi paket tersebut.
Kotak besar, cukup berat, dibungkus sederhana oleh kertas coklat, dan kertas yang ditempel tertuliskan nama pengirimnya, “Dodo”, dengan alamat yang hanya bertuliskan “Jogjakarta”. Saat aku melihat nama pengirimnya, aku sempat tertawa kecil dan pikiran ku langsung tertuju kepada Ayah. Dodo adalah nama yang Ayah berikan untuk boneka tangan buatan nya. Dodo, boneka berbentuk lumba-lumba dengan topeng hitam yang terpasang dimata nya. Saat aku masih duduk dibangku kanak-kanak, Ayah membuatkan ku dua boneka tangan yang terbuat dari kain flanel, Dodo dan Dede, Dede adalah boneka berbentuk buaya yang memakai kacamata, Dodo adalah boneka Ayah, sedangkan Dede adalah boneka ku, ia cukup terampil dalam membuat kedua boneka tangan tersebut. Aku selalu tidak sabar saat menanti Ayah pulang dari pekerjaan nya, karena ia selalu menyempatkan untuk bermain boneka-boneka tersebut dengan ku disela-sela waktu istirahatnya. Dodo selalu menyampaikan nasihat-nasihat dan motivasi untuk Dede, agar Dede atau aku dapat menjadi seseorang yang berguna dan sukses dimasa depan. Nasihat dan motivasi tersebut selalu ada dipikiran ku hingga saat ini. Saat aku pindah untuk bekerja di Jakarta, Dodo dan Dede terpisah dengan jarak yang jauh untuk pertama kalinya. Dede aku bawa kekantor dan ku taruh dimeja kantorku untuk selalu mengingatkan ku akan nasihat dan motivasi yang Ayah berikan.
Tangan menggenggam segelas teh hangat yang telah kubuat, dan suara burung-burung perkutut bersahut-sahutan dilangit lepas. Duduk dihalaman rumah ini menjadi salah satu tempat favoritku saat hari libur tiba. Kotak tersebut masih rapi diatas meja, aku masih bertanya-tanya, apa yang Ayah kirimkan kepada ku. Lalu, aku mangambil sebuah telepon genggam yang berada di saku celana untuk menelpon Ayah.
“Selamat pagi, Yah..”, sapaan ku.
Dengan suara khas nya Ayah menjawab sapaan anak semata wayang nya ini, “Pagi, Anak kesayangan Ayah!”
Aku tertawa kecil, dan berbasa-basi. Lalu aku bertanya, “Ayah, paket ini berisi apa? Tumben aku dapat paket dari Ayah, kan biasanya aku yang kirim ke Jogja.”
Lantas Ayah pun tertawa mendengar itu, “Oh, sudah sampai di Jakarta? Bagus lah, sekarang, selesaikan pembicaraan ini, dan cepat buka paket itu. Semoga kamu suka dengan isi nya. Ayah juga berharap, kamu dapat menggunakan nya sebaik mungkin, siapa tau itu berguna untuk mu dan keuangan mu.”
Aku semakin bingung dengan perkataan Ayah lalu menutup pembicaraan yang singkat ini, “Baiklah, Yah. Makasih atas paketnya ya!”
            Tak lama setelah obrolan lewat telepon tersebut ku selesaikan, aku mulai merobek lapisan paket itu dan membuka kotak nya. Kotak tersebut berisi sebuah kamera, 3 lensa, dan secarik kartu nama. Ayah adalah pensiunan dari redaksi media massa ternama di Jogjakarta, selain itu, ia juga seorang freelance fotografer yang menerima jasa foto untuk acara-acara besar, ia seorang fotografer handal, banyak sekali orang-orang yang ingin menggunakan jasa nya untuk lembaran-lembaran foto yang memiliki sebuah kenangan tersendiri. Tak jarang Ayah menjadi seorang fotografer untuk resepsi-resepsi pernikahan anak dari pejabat dan orang-orang besar di Jogjakarta.
Ayah menyelipkan sebuah kartu nama didalam paket tersebut, kartu nama itu bertuliskan “Andhika Kusuma” dan dua nomor telepon. Mata ku terpejam, dan mengingat-ingat nama tersebut. Nama yang sepertinya sudah tidak asing lagi untuk ku. Akhirnya aku dapat mengingat nama tersebut, nama dari seseorang teman baik Ayah saat menjadi fotografer untuk media massa. Ayah pernah mengajaknya untuk sekedar bersilaturahmi kerumah kami disela-sela perkerjaan mereka. Aku pernah dikenalkan dengan orang tersebut, salah satu rekan Ayah di dunia fotografi itu sangat baik, dan cukup handal seperti Ayah. Mungkin Ayah menyuruh ku untuk menyempatkan diri menemui orang ini.
Aku membongkar isi paket tersebut, kemudian memasangkan sebuah lensa ke kamera. Aku menggenggam kamera dan bingung apa yang harus kulakukan dengan kamera ini. Karena keahlian ku yang sangat amat minim dalam menggunakan kamera, aku  memilih pendidikan yang berbeda dari Ayah, bukan dari pendidikan dibidang fotografi, tetapi aku memilih pendidikan dibidang sistem informasi. Suara jepretan-jepretan kamera ini pun terdengar saat ku mulai memencet salah satu tombol. Dari burung perkutut yang berterbangan, hingga roti yang sudah sebagian ku makan pun tak luput dari jepretan kamera. Aku yang sedang asyik berfoto-foto ria dan tidak sadar saat sudah berada didepan gerbang rumah, terlihat Satpam yang sedang berpatroli berkata, “Wah, ternyata isi paket itu kamera ya, Mas?”.
Aku tertawa, “Iya, Pak. Bapak kira ini bom yah?”
Ia pun ikut tertawa dan melanjutkan kegiatan nya, “Iya, Mas..”
Aku mulai berpikir, mungkin tujuan Ayah mengirimkan kamera kesayangan nya ini adalah ingin melihat anak satu-satunya dapat mengoperasikan sebuah kamera, tidak hanya handal dalam mengoperasikan komputer. Mungkin tidak sehandal Ayah, tetapi setidaknya aku bisa mengoperasikan dan mengerti kamera dengan baik.
“Selain tujuan Ayah itu, menjadi seorang freelancer didunia fotografi ini bisa meningkatkan keuangan ku!”, aku pun tertawa.

Halte Cinta

Lucky, anak SMA yang baru naik ke kelas tiga, ia punya dua sahabat, yaitu Doni dan Randy, mereka selalu bersama ketika disekolah, bermain, belajar, bahkan melakukan keisengan bersama, mungkin mereka bisa dibilang anak murid yang paling jahil disekolah, engga sedikit guru yang memanggil orang tua mereka karena keisengan yang mereka buat. Mereka bertiga memiliki rumah yang jalannya searah, jadi setiap pulang sekolah, mereka selalu pulang bersama. Setelah bel jam terakhir berbunyi, mereka pun bergegas pulang. Mereka selalu menunggu bis di sebuah halte dekat sekolah.
♥♥♥♥
Hari pertama sekolah pun telah tiba, akhirnya Lucky merasakan yang namanya murid paling senior di sekolah. Sebelum berangkat ke sekolah, orang tua Lucky berkata,"Kamu udah kelas tiga sekarang, jangan jadi anak iseng lagi, jangan malu maluin orang tua didepan guru kamu". Dan ia pun mengangguk, lalu berangkat ke sekolah. Sesampainya disekolah, hal yang pertama Lucky lakuin adalah bertemu dengan dua sahabat dia yang agak sedikit "gila". Setelah bertemu Randy pun berkata,"Yes! Akhirnya kita udah jadi senior, jadi kita bisa isengin teman dan adik kelas. Hahaha"
"Wah iya juga yah Ran, enak banget, hahaha", jawab Doni.
"Eh, udahlah, kita engga usah jahil lagi, udah kelas tiga, fokus buat ujian dong..", kata Lucky.
Randy pun menjawab,"Tenang aja, semua bisa diatur.. Hahaha".
Bel masuk pun berbunyi, mereka masuk ke kelas dan belajar. Setelah sekolah usai, mereka pun menuju halte untuk menunggu bis yang biasa mereka tumpangi saat pulang sekolah. Mereka berlari menuju halte, dan sesampainya di halte, Lucky menabrak seorang gadis, mereka berdua pun terjatuh, Lucky langsung berdiri dan membantu gadis tersebut untuk berdiri.
"Kamu engga apa apa kan? Maaf yah, aku tadi engga liat.", ujar Lucky.
Gadis itu pun menjawab dengan senyuman,"Iya aku engga apa apa kok, lain kali hati hati yah"
"Oh iya, sekali lagi maaf yah..", kata Lucky.
"LUCKY, CEPET, ITU BIS KITA!!!", teriak Doni.
"Aku pulang duluan yah, daaaaah~", ujar Lucky kepada gadis tersebut.
Mereka pun naik bis, saat didalam bis, Lucky pun sempat melirik gadis tersebut dan tersenyum.
"Luck, kenapa lu senyum senyum sendiri?", singgung Doni.
Lucky pun menjawab,"Engga......itu......aduh.....engga apa apa kok."
"Lu suka sama cewek yang tadi itu yah?", ujar Randy.
"Ah engga kok biasa aja..", balas Lucky.
Randy berkata,"Udah jujur aja sih, tapi cantik kok cewek tadi, ya kan Don?"
"Iya tuh bener, itu anak SMA mana yah? Kok gue baru liat dia di halte?", jawab Doni.
Randy dan Lucky berkata,"Oh iya juga yah.."
♡♡♡♡
Bel pelajaran terakhir pun berbunyi, seperti biasa, mereka pergi ke halte untuk menunggu bis, dan mereka bertemu gadis yang mereka temui di hari sebelumnya.
Doni berkata,"Eh Luck, itu dia tuh cewek yang kemarin, lu kenalan sana.. Haha"
"Ah apaan sih Don?", balas Lucky.
"Engga ada salahnya buat sekedar kenalan, siapa tau bisa jadian? Hahaha", jawab Doni.
"Wah iya tuh Luck! Hahaha", ujar Randy.
"Ah makin aneh deh lu berdua", kata Lucky.
Randy dan Doni serentak mendorong Lucky kearah gadis tersebut hingga Lucky menyenggol ia.
Dan Lucky berkata,"Aduh, maaf, itu temen ku iseng mendorong aku kearah kamu."
Gadis itu menjawab,"Iya engga apa apa kok, kirain aku, kamu lari larian lagi. Haha"
"Ah engga kok, itu tuh gara gara mereka.", ujar Lucky sambil menunjuk kearah sahabatnya.
"Mereka temen kamu?", tanya gadis itu.
"Iya mereka temen aku, hmmmm, sebenernya lebih dari temen sih.", jawab Lucky.
Gadis itu pun bertanya kembali,"Punya hubungan saudara?"
Lucky menjawab,"Hah? Bukan bukan, mereka itu sahabat aku. Hehe"
"Oh begitu, pantesan kalian kompak banget. Hahaha", kata gadis itu.
"Yah begitu deh. Hehe. Oh iya ngomong ngomong, aku boleh tau nama kamu?", balas Lucky.
Gadis itu menjawab dan tersenyum,"Nama aku Vienny, kalo kamu?"
"Oh Vienny, bagus yah namanya? Haha. Aku Lucky.. Salam kenal yah.", balas Lucky.
Vienny menjawab,"Ah kamu bisa aja deh. Haha. Iya salam kenal."
Karena terlalu asik berbincang bincang, Lucky pun ternyata ditinggal oleh kedua sahabatnya.
"Wah mereka kemana?", kata Lucky kepada Vienny.
"Oh iya, kemana yah mereka? Cepet banget hilangnya. Hahaha. Luck, aku pulang duluan yah, itu bis aku udah dateng. Daaaaah~", jawab Vienny.
"Iya Vin, hati hati yah dijalan, see you. Hehe", ujar Lucky.
♥♥♥♥
Keesokan hari nya disekolah Lucky..
Doni berkata,"Eh gimana Luck? Udah dapet nomornya?"
Lucky menjawab,"Nomor apaan sih?"
"Nomor cewek itu lah.. Haha", kata Doni
"Iya Luck, dapet gak? Eh namanya siapa?", tanya Randy.
Lucky menjawab dengan kesalnya,"Kalian tuh apa sih? Kemarin ngapain coba ninggalin gue?"
Randy berkata,"Yah masa kita tega ngeganggu sahabat kita yang lagi jatuh cinta? Hahahaha"
"Cinta darimana sih?", jawab Lucky.
Doni bertanya dengan penasaran,"Udah ah, nama dia siapa?"
Lucky pun menjawab,"Namanya Vienny.."
"Hmmmmmmm~", ujar Doni dan Randy.
♡♡♡♡
Setelah beberapa hari Lucky dan Vienny berbincang, akhirnya Lucky mendapatkan nomor handphone Vienny, dan mereka pun saling berkomunikasi lewat sms bahkan tak jarang mereka melakukan perbincangan lewat telepon. Tak hanya berkomunikasi lewat handphone saja, mereka pun sering pergi keluar bersama, seperti ke toko buku, menonton film, dan makan malam bersama. Pada saat makan malam, mereka berbicara banyak hal, Lucky sempat menyinggung soal lelaki idaman Vienny, dan Vienny menjawab dengan senyuman saja. Lucky pun berkata,"Kenapa cuma senyum?"
"Ah engga apa apa. Hehe", jawab Vienny.
"Oh iya gini Vin, sebenernya aku tuh, hmmmmm, gimana yah..", kata Lucky.
"Kamu kenapa?", tanya Vienny.
"Aku.....suka sama kamu Vin, hehe. Kamu mau gak jadi pacar aku?", ujar Lucky dengan memberikan bunga kepada Vienny.
"Hmmmm, gitu yah.. Duh, gimana yah? Aku bukannya engga mau......tapi aku mau fokus dulu buat ujian nanti Luck, aku mau kok tapi yah gitu, untuk sekarang kayaknya engga dulu deh, maaf yah.. Maaf banget..", jawab Vienny.
"Oh iya iya, aku ngerti kok. Hehe. Okedeh, kalo gitu kita sama sama fokus buat ujian dulu yah, semoga kamu dan aku lulus dengan nilai yang memuaskan. Hehe. Oh iya maaf juga yah kalo aku udah minta hal itu.", jawab Lucky dengan menyesal.
Vienny berkata,"Ah engga apa apa kok, tenang aja lagi.. Haha. Senyum dong.. Hahaha. Oh iya, makasih buat bunganya."
Lucky pun senyum dan menjawab,"Iya, ini udah senyum kan? Hehe. Iya sama sama Vin."
Setelah lama mereka berbincang, akhirnya mereka pun pulang.
♥♥♥♥
Setelah beberapa hari dari makan malam tersebut, Vienny pun jarang terlihat di halte. Lucky terlihat murung akhir akhir ini. Randy bertanya,"Eh Luck! Lu kenapa murung terus? Oh iya, gimana lu sama Vienny? Udah ditembak belum? Haha"
Doni pun ikut bertanya,"Iya, gimana? Udah pacaran yah? Makan makan dong? Hahaha. Eh kok dia jarang ada di halte yah?"
"Apaan sih? Kalian aneh deh.", jawab Lucky.
Randy kembali bertanya,"Yah bukannya jawab. Eh lu kenapa murung terus sih? Apa lu ditolak sama dia?"
"Hmmmm~", jawab Lucky.
"PANTEEEEEEESS~", ujar Doni dan Randy.
"Emang kenapa ditolak?", tanya Doni.
Dan Lucky menjelaskan semuanya..
"Udah, tenang aja, bener juga tuh kata dia, fokus ujian dulu, biar lulus.", kata Doni.
"Yaudah, sekarang kita mulai belajar yang serius deh, jangan isengin orang mulu. Hahaha. Nanti kita belajar bareng, oke?", kata Randy.
"Okedeh~", jawab Lucky dan Doni.
♡♡♡♡
Akhirnya ujian pun telah dilewati, dan mereka lulus dengan nilai yang memuaskan. Mereka pun melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, Lucky, Doni, dan Randy masuk ke dalam perguruan tinggi yang mereka inginkan. Sebelum mereka berpisah, mereka pun berkumpul di halte yang biasa mereka singgahi.
Randy berkata,"Wah, here we are, ini halte bukan sembarang halte nih, banyak kenangan disini."
"BANYAK BANGET RAN! Duh sedih gue jadinya. Haha", ujar Lucky.
Doni bilang,"Ah elu sih sedih karena si Vienny! Hahaha"
"Tau lu Luck, haha. Kangen gak sama dia?", tanya Randy.
Lucky menjawab,"Hehe. Iya sih itu salah satu yang bikin sedih.. Haha. Kangen banget, sekarang dimana yah dia?"
"Yah dimana pun dia, dia akan selalu ada kok buat lu.", canda Doni.
"Ciyeeeeeee, hahahahahaha!", kata Randy.
"Ah apaan sih? Udah ah udah.. Haha.", jawab Lucky.
Setelah sekian lama mereka berbincang, akhirnya pun mereka berpisah.
♥♥♥♥
Lucky akhirnya menjalani hidup barunya sebagai mahasiswa. Dan Ia terus bertanya tanya dimana keberadaan Vienny saat ini. Pada suatu hari, Lucky mendapat sebuah tugas, dan ia mencari beberapa referensi buku di perpustakaan, saat ia mencari cari, ia tak sengaja menjatuhkan beberapa buku, dan ada seorang perempuan cantik membantu merapikan buku tersebut ketempat semula. Lucky berkata,"Duh, udah engga apa apa, biar aku aja yang rapiin."
Perempuan tersebut menjawab,"Udah engga apa apa kok, kamu kan dulu yang bantuin aku pas aku jatuh, sekarang aku yang bantuin kamu. Hehe"
Lucky pun menengok kearah wajah perempuan tersebut dan berkata,".....................Vienny?!"
Dan Vienny mengangguk sambil tersenyum.
♡♡Selesai♥♥