Alarm berdering pukul 5 pagi, membangunkan
ku dari alam mimpi. Matahari mulai menunjukkan sinarnya, udara pagi yang terasa
segar dan jauh dari polusi-polusi kendaraan bermotor yang biasa menghiasi udara
di Jakarta. Keluar dari kamar dan melangkah ke depan halaman rumah untuk
menikmati Jakarta pagi yang begitu sejuk. Sedikit olahraga pagi cukup untuk
membuatku lebih fit dalam menjalani hari ini. Beberapa pedagang menjajakan dagangannya
dengan membawa kendaraan mereka, seperti sepeda, motor, bahkan ada pedagang
yang menjajakan barangnya dengan mobil pick up. Itulah pemandangan yang biasa
kulihat dipagi hari. Hari Senin ini sering disebut-sebut sebagai hari tersibuk,
oleh karena itu, aku membiasakan diri untuk bangun lebih pagi dari hari yang
lainnya. Aku hidup sendirian dirumah yang tidak begitu besar, memiliki dua
kamar dengan kamar mandi, satu ruang tamu, dan dapur yang bercampur dengan
ruang makan. Mengerjakan pekerjaan rumah sudah biasa kulakukan saat sebelum
pergi, atau pulang dari kantor. Sejak pindah ke Jakarta, aku mulai belajar
melakukan semua kegiatan tersebut, biaya hidup yang tidak murah di Jakarta
menuntutku untuk hidup mandiri agar terbebas dari beban-beban biaya hidup yang
sebenarnya tidak perlu aku keluarkan untuk hal yang bisa kulakukan sendiri. Memasak
contohnya, aku mulai pandai memasak beberapa makanan khas Indonesia, tidak
hanya itu, sampai saat ini, aku juga sedang belajar berbagai masakan dari luar
Indonesia. Tak sedikit buku resep makanan yang ku punya dirumah. Pagi ini aku
membuat telur dengan corned beef yang
kucampur menjadi satu, ini adalah sarapan pagi favoritku, selain enak, aku juga
tidak terlalu repot dan lama untuk membuatnya. Jarum jam dinding berada pada
pukul tepat enam pagi, setelah menyantap sarapan pagi, aku pun mulai untuk bersiap-siap
diri dan pergi ke kantor.
Jarak antara kantor dan rumah yang
tidak terlalu jauh, memudahkan ku dalam mengatur waktu. Karena Jakarta hampir
selalu macet dipagi hari, apalagi jam masuk kerja, aku lebih memilih menggunakan
kendaraan umum daripada kendaraan pribadi. Motor matic yang ku punya selalu berada dirumah, jarang sekali kupakai
untuk pergi ke kantor jika tidak ada keperluan yang sangat mendadak. Jembatan halte
bus Transjakarta sudah penuh dengan antrian pegawai-pegawai yang sedang
mengejar waktu, jumlah Transjakarta yang lewat pun begitu banyak, setiap 15
menit sekali, satu-persatu bus transit di halte ini. Pandangan ku tertuju ke
arloji yang melingkar ditangan. Sekitar 55 menit lagi aku harus sudah ada
dikantor, atau aku akan telat. Aku benci jika harus telat masuk kantor, akan
ada omongan-omongan pedas dari sang manajer kantor yang akan terngiang-ngiang
ditelinga sepanjang hari. Omelan itu bisa sangat mengganggu untuk fokus dalam
mengerjakan semua tugas. Aku bekerja sebagai programmer disebuah perusahaan
yang tidak begitu besar. Fokus adalah resep utama dalam pekerjaan ku ini, coding dan logika adalah komposisi, dan sebuah program adalah hasilnya.
Program memuat cukup banyak coding dan logika. Jika terdapat satu kesalahan
pada coding atau logika, program tidak bisa berjalan dengan semestinya atau
bahkan tidak bisa berjalan sama sekali, jadi kita harus tetap fokus sampai
program bisa berjalan dengan baik.
Aku sudah berada didalam Transjakarta
bersama puluhan pegawai lain yang saling berdesak-desakan. 3 halte lagi aku
akan sampai di tempat tujuan, Dukuh Atas. Tersisa 25 menit lagi sebelum jam
masuk kantor, yaitu pukul 08:30. Sesampai
nya di Dukuh Atas, aku langsung loncat keluar bus dan berlari menuju kantor. Kantor
ku yang hanya berbeda beberapa blok dengan halte bisa ditempuh dalam waktu 4
menit jika dilakukan dengan berlari.
Sampai dikantor, tidak telat, dan
badan yang terasa lelah karena berlarian mengejar waktu. Bangku ruang kerja
yang terasa nyaman membuatku merasa ngantuk, ditambah dengan udara AC yang
begitu sejuk. Karena belum ada pekerjaan, aku memutuskan untuk memejamkan mata
sejenak.
Seseorang mendorong-dorong pelan
badan ku, “Dan! Dani! Bangun..”
Aku membuka kedua mata, “Ah kamu,
Lid. Ganggu istirahat ku aja.”
“Ini kantor, Dan. Bukan rumah mu!
Lihat Ibu manajer sedang berada diluar ruangan untuk memperhatikan kita
bekerja.”, Maulida berseru.
Maulida adalah teman terbaik ku
dikantor. Ia selalu menemani ku makan siang, dan selalu membantu mengecek jika
terdapat kesalahan pada program yang ku buat sebelum aku mempresentasikan
didepan para klien. Maulida lebih muda dua tahun dari ku, ia tidak banyak
omong, tidak suka cari perhatian didepan manajer seperti teman kantor ku yang
lain, tipikal orang yang bisa membuat orang lain nyaman berada didekatnya, aku
suka dia.
Rita, itu adalah nama sang Ibu
manajer. Bu Rita datang menghampiriku, “Kamu habis tidur ya, Dan?!”
“Ah, engga kok, Bu.”, aku berbohong
untuk menyangkalnya.
“Kamu tidak usah berbohong, itu mata
kamu berair seperti orang habis bangun tidur.”, Bu Rita membalas dengan nada
yang cukup kesal.
Aku mengusap mata, “Oh, tadi saya
habis menguap, Bu. Mungkin karena itu mata saya berair.”
“Terserah apa katamu saja.. Ini,
tolong cek berkas ini. Jika ada kesalahan cepat direvisi, berkas ini harus ada
di meja saya sore ini. Jangan sampai ada klien yang kecewa karena ketelatan
yang kita buat.”, Bu Rita pergi dan meninggalkan beberapa berkas dimeja kerja.
“Siap, Bu!”, aku menyanggupi tugas
tersebut.
Maulida tertawa, “Makanya, jangan
tidur pas jam kantor udah dimulai.”
“Sssssssttt, sudah lupakan. Mari bantu
aku untuk menyelesaikan ini, setelah itu kita makan siang bersama.”, ajak ku.
“Untuk tugas itu aku akan menolak,
tapi untuk makan siang, kamu yang teraktir ya!”, Maulida tertawa.
Aku menatap matanya dengan memasang
muka datar, “Hmm, baiklah..”
Berkas yang Bu Rita berikan cukup
banyak menyita waktu, tidak terasa waktu makan siang sudah hampir tiba. Mata ku
tertuju pada monitor, tiba-tiba Maulida mengagetkanku dengan senyuman yang
terpancar diwajahnya, “Hai! Ayo kita makan!”.
Aku pun kaget, “Ah, kamu mengagetkan
ku saja. Tunggu sebentar, aku simpan revisi berkas ini dan mematikan komputer dulu.”
Kami keluar kantor untuk makan
siang..
“Kita mau makan dimana, Dan? Kantin
tempat biasa?”, Maulida bertanya kebingungan.
“Sudah, kamu ikuti aku saja.. Kamu
pasti suka.”, aku menjawab.
Aku ajak Maulida ke tempat makan yang
baru saja dibuka dua hari lalu, yang berada tepat diseberang kantor. Tempat makan
ini belum terlalu banyak yang mengunjungi karena masih baru. Kami makan bakso,
iya, Maulida sangat suka bakso, ditempat makan ini ada berbagai macam bakso
yang dijual, ia terlihat sangat senang saat melihat menu yang disediakan.
“Ah, kamu paling tau deh kesukaan
ku..”, ucap Maulida.
“Tau dong! Kamu kan………………………”, aku
berhenti berkata.
Maulida terlihat bingung, “Aku apa?”
“Sudah, kamu pesan aja bakso nya,
udah lapar kan?”, aku tertawa.
“Yaudah, aku pesan semuanya ya!”,
gurau Maulida.
Aku pun hanya tertawa mendengar
gurauan nya.
Perut kami sudah terisi oleh santapan
makan siang, Maulida terlihat senang, ”Wah, enak ya.. Besok kita kesini lagi,
masih banyak menu yang belum aku coba!”
“Terserah kamu saja, Putri.. Tapi
lain kali, kamu yang teraktir ya!”, aku pun tertawa.
Aku mengeluarkan dompet untuk
membayar semua makanan ini, tiba-tiba ada secarik kertas yang terjatuh dari
dompet. Maulida mengambilnya, “Kartu nama siapa ini, Dan?”
“Oh, itu kartu nama rekan kerja Ayah
ku dulu.. Ia seorang fotografer, sama seperti Ayahku.”, Jawabku.
“Lalu, mengapa kau punya kartu nama
orang ini?”, Maulida bertanya kembali.
“Nanti aku jelaskan dijalan menuju
kantor..”, jawabku.
Aku pun menjelaskan semuanya saat
berjalan pulang kearah kantor.
“Wah, cepat kamu hubungi! Oh iya, kamu
harus ajak aku ya kalau ingin menemui Pak Andhika..”, Maulida terlihat
antusias.
Aku tersenyum melihat dirinya, “Iya,
nanti aku hubungi dia. Baru aku ingin mengajakmu tadi, tapi kamu sudah lebih
dulu menawarkan diri.”
Maulida tertawa, “Aku senang berfoto-foto
tau, makanya aku antusias seperti ini, siapa tau Pak Andhika bisa menjadikan ku
model nya.”
Aku menatap mata nya dan tersenyum, “Wah, baiklah
kalo gitu. Temani aku ya?!”
No comments:
Post a Comment