Wednesday, August 27, 2014

Chapter 2 : "Temani Aku Ya?!"

Alarm berdering pukul 5 pagi, membangunkan ku dari alam mimpi. Matahari mulai menunjukkan sinarnya, udara pagi yang terasa segar dan jauh dari polusi-polusi kendaraan bermotor yang biasa menghiasi udara di Jakarta. Keluar dari kamar dan melangkah ke depan halaman rumah untuk menikmati Jakarta pagi yang begitu sejuk. Sedikit olahraga pagi cukup untuk membuatku lebih fit dalam menjalani hari ini. Beberapa pedagang menjajakan dagangannya dengan membawa kendaraan mereka, seperti sepeda, motor, bahkan ada pedagang yang menjajakan barangnya dengan mobil pick up. Itulah pemandangan yang biasa kulihat dipagi hari. Hari Senin ini sering disebut-sebut sebagai hari tersibuk, oleh karena itu, aku membiasakan diri untuk bangun lebih pagi dari hari yang lainnya. Aku hidup sendirian dirumah yang tidak begitu besar, memiliki dua kamar dengan kamar mandi, satu ruang tamu, dan dapur yang bercampur dengan ruang makan. Mengerjakan pekerjaan rumah sudah biasa kulakukan saat sebelum pergi, atau pulang dari kantor. Sejak pindah ke Jakarta, aku mulai belajar melakukan semua kegiatan tersebut, biaya hidup yang tidak murah di Jakarta menuntutku untuk hidup mandiri agar terbebas dari beban-beban biaya hidup yang sebenarnya tidak perlu aku keluarkan untuk hal yang bisa kulakukan sendiri. Memasak contohnya, aku mulai pandai memasak beberapa makanan khas Indonesia, tidak hanya itu, sampai saat ini, aku juga sedang belajar berbagai masakan dari luar Indonesia. Tak sedikit buku resep makanan yang ku punya dirumah. Pagi ini aku membuat telur dengan corned beef yang kucampur menjadi satu, ini adalah sarapan pagi favoritku, selain enak, aku juga tidak terlalu repot dan lama untuk membuatnya. Jarum jam dinding berada pada pukul tepat enam pagi, setelah menyantap sarapan pagi, aku pun mulai untuk bersiap-siap diri dan pergi ke kantor.
Jarak antara kantor dan rumah yang tidak terlalu jauh, memudahkan ku dalam mengatur waktu. Karena Jakarta hampir selalu macet dipagi hari, apalagi jam masuk kerja, aku lebih memilih menggunakan kendaraan umum daripada kendaraan pribadi. Motor matic yang ku punya selalu berada dirumah, jarang sekali kupakai untuk pergi ke kantor jika tidak ada keperluan yang sangat mendadak. Jembatan halte bus Transjakarta sudah penuh dengan antrian pegawai-pegawai yang sedang mengejar waktu, jumlah Transjakarta yang lewat pun begitu banyak, setiap 15 menit sekali, satu-persatu bus transit di halte ini. Pandangan ku tertuju ke arloji yang melingkar ditangan. Sekitar 55 menit lagi aku harus sudah ada dikantor, atau aku akan telat. Aku benci jika harus telat masuk kantor, akan ada omongan-omongan pedas dari sang manajer kantor yang akan terngiang-ngiang ditelinga sepanjang hari. Omelan itu bisa sangat mengganggu untuk fokus dalam mengerjakan semua tugas. Aku bekerja sebagai programmer disebuah perusahaan yang tidak begitu besar. Fokus adalah resep utama dalam pekerjaan ku ini, coding dan logika adalah  komposisi, dan sebuah program adalah hasilnya. Program memuat cukup banyak coding dan logika. Jika terdapat satu kesalahan pada coding atau logika, program tidak bisa berjalan dengan semestinya atau bahkan tidak bisa berjalan sama sekali, jadi kita harus tetap fokus sampai program bisa berjalan dengan baik.
Aku sudah berada didalam Transjakarta bersama puluhan pegawai lain yang saling berdesak-desakan. 3 halte lagi aku akan sampai di tempat tujuan, Dukuh Atas. Tersisa 25 menit lagi sebelum jam masuk kantor, yaitu pukul 08:30.  Sesampai nya di Dukuh Atas, aku langsung loncat keluar bus dan berlari menuju kantor. Kantor ku yang hanya berbeda beberapa blok dengan halte bisa ditempuh dalam waktu 4 menit jika dilakukan dengan berlari.
Sampai dikantor, tidak telat, dan badan yang terasa lelah karena berlarian mengejar waktu. Bangku ruang kerja yang terasa nyaman membuatku merasa ngantuk, ditambah dengan udara AC yang begitu sejuk. Karena belum ada pekerjaan, aku memutuskan untuk memejamkan mata sejenak.
Seseorang mendorong-dorong pelan badan ku, “Dan! Dani! Bangun..”
Aku membuka kedua mata, “Ah kamu, Lid. Ganggu istirahat ku aja.”
“Ini kantor, Dan. Bukan rumah mu! Lihat Ibu manajer sedang berada diluar ruangan untuk memperhatikan kita bekerja.”, Maulida berseru.
Maulida adalah teman terbaik ku dikantor. Ia selalu menemani ku makan siang, dan selalu membantu mengecek jika terdapat kesalahan pada program yang ku buat sebelum aku mempresentasikan didepan para klien. Maulida lebih muda dua tahun dari ku, ia tidak banyak omong, tidak suka cari perhatian didepan manajer seperti teman kantor ku yang lain, tipikal orang yang bisa membuat orang lain nyaman berada didekatnya, aku suka dia.
Rita, itu adalah nama sang Ibu manajer. Bu Rita datang menghampiriku, “Kamu habis tidur ya, Dan?!”
“Ah, engga kok, Bu.”, aku berbohong untuk menyangkalnya.
“Kamu tidak usah berbohong, itu mata kamu berair seperti orang habis bangun tidur.”, Bu Rita membalas dengan nada yang cukup kesal.
Aku mengusap mata, “Oh, tadi saya habis menguap, Bu. Mungkin karena itu mata saya berair.”
“Terserah apa katamu saja.. Ini, tolong cek berkas ini. Jika ada kesalahan cepat direvisi, berkas ini harus ada di meja saya sore ini. Jangan sampai ada klien yang kecewa karena ketelatan yang kita buat.”, Bu Rita pergi dan meninggalkan beberapa berkas dimeja kerja.
“Siap, Bu!”, aku menyanggupi tugas tersebut.
Maulida tertawa, “Makanya, jangan tidur pas jam kantor udah dimulai.”
“Sssssssttt, sudah lupakan. Mari bantu aku untuk menyelesaikan ini, setelah itu kita makan siang bersama.”, ajak ku.
“Untuk tugas itu aku akan menolak, tapi untuk makan siang, kamu yang teraktir ya!”, Maulida tertawa.
Aku menatap matanya dengan memasang muka datar, “Hmm, baiklah..”
Berkas yang Bu Rita berikan cukup banyak menyita waktu, tidak terasa waktu makan siang sudah hampir tiba. Mata ku tertuju pada monitor, tiba-tiba Maulida mengagetkanku dengan senyuman yang terpancar diwajahnya, “Hai! Ayo kita makan!”.
Aku pun kaget, “Ah, kamu mengagetkan ku saja. Tunggu sebentar, aku simpan revisi berkas ini dan mematikan komputer dulu.”
Kami keluar kantor untuk makan siang..
“Kita mau makan dimana, Dan? Kantin tempat biasa?”, Maulida bertanya kebingungan.
“Sudah, kamu ikuti aku saja.. Kamu pasti suka.”, aku menjawab.
Aku ajak Maulida ke tempat makan yang baru saja dibuka dua hari lalu, yang berada tepat diseberang kantor. Tempat makan ini belum terlalu banyak yang mengunjungi karena masih baru. Kami makan bakso, iya, Maulida sangat suka bakso, ditempat makan ini ada berbagai macam bakso yang dijual, ia terlihat sangat senang saat melihat menu yang disediakan.
“Ah, kamu paling tau deh kesukaan ku..”, ucap Maulida.
“Tau dong! Kamu kan………………………”, aku berhenti berkata.
Maulida terlihat bingung, “Aku apa?”
“Sudah, kamu pesan aja bakso nya, udah lapar kan?”, aku tertawa.
“Yaudah, aku pesan semuanya ya!”, gurau Maulida.
Aku pun hanya tertawa mendengar gurauan nya.
Perut kami sudah terisi oleh santapan makan siang, Maulida terlihat senang, ”Wah, enak ya.. Besok kita kesini lagi, masih banyak menu yang belum aku coba!”
“Terserah kamu saja, Putri.. Tapi lain kali, kamu yang teraktir ya!”, aku pun tertawa.
Aku mengeluarkan dompet untuk membayar semua makanan ini, tiba-tiba ada secarik kertas yang terjatuh dari dompet. Maulida mengambilnya, “Kartu nama siapa ini, Dan?”
“Oh, itu kartu nama rekan kerja Ayah ku dulu.. Ia seorang fotografer, sama seperti Ayahku.”, Jawabku.
“Lalu, mengapa kau punya kartu nama orang ini?”, Maulida bertanya kembali.
“Nanti aku jelaskan dijalan menuju kantor..”, jawabku.
Aku pun menjelaskan semuanya saat berjalan pulang kearah kantor.
“Wah, cepat kamu hubungi! Oh iya, kamu harus ajak aku ya kalau ingin menemui Pak Andhika..”, Maulida terlihat antusias.
Aku tersenyum melihat dirinya, “Iya, nanti aku hubungi dia. Baru aku ingin mengajakmu tadi, tapi kamu sudah lebih dulu menawarkan diri.”
Maulida tertawa, “Aku senang berfoto-foto tau, makanya aku antusias seperti ini, siapa tau Pak Andhika bisa menjadikan ku model nya.”
Aku menatap mata nya dan tersenyum, “Wah, baiklah kalo gitu. Temani aku ya?!”


No comments:

Post a Comment