Friday, August 29, 2014

Chapter 3 : "Makan Malam yang Sempurna"

Ketiga berkas yang diberikan oleh Bu Rita pagi ini sudah hampir selesai ku revisi. Tidak banyak kesalahan yang ada didalam berkas-berkas ini, jadi, aku tidak perlu pusing-pusing untuk merevisi nya. Lagipula, bukan aku yang seharusnya mengerjakan tugas ini, tetapi Bella. Bella adalah rekan kantor ku sama seperti Maulida, tetapi Bella bekerja dibagian admin, berbeda dengan ku dan Maulida. Sudah 2 hari ini Bella tidak masuk kantor karena sakit, jadi, Bu Rita memberikan tugasnya kepadaku, mungkin karena Bu Rita melihat ku sedang tidur dan tidak melakukan tugas apapun pagi tadi, sebab itu dia menyuruhku untuk merevisi berkas ini. Aku dan Maulida berencana menjenguk Bella sore ini setelah pekerjaan kami selesai. Sudah hampir sore, suasana kantor mulai ramai oleh obrolan-obrolan pegawai lain yang sedang bercengkrama satu sama lain, terlihat Maulida sedang menggunakan mesin foto copy yang tidak jauh dari meja ku. Tak lama kemudian, ia menghampiri meja ku, “Belum selesai juga, Dan?”.
“Udah kok! Tinggal kubaca sekali lagi agar tak ada kesalahan.”, jawab ku.
“Oh, bagus deh. Cepat cetak dan berikan ke Bu Rita, sepertinya ia sudah menunggumu di ruangannya. Pokoknya, jangan sampai aku mendengar suara lantang Bu Rita saat kamu berada diruangannya ya!”, Maulida tertawa.
“Sudah lah, jangan menakut-nakuti ku seperti itu. Mungkin besok giliranmu untuk mengerjakan tugas-tugas Bella.”, aku pun tertawa.
Berkas ini sudah siap untuk ku berikan kepada Bu Rita, aku harap suasana Bu Rita sore ini sedang cerah, jadi tidak terlihat muka dingin nya saat ku ketuk pintu ruangan. aku berdiri dari bangku kerjaku dan melangkah menuju ruangan Bu Rita. Lagi-lagi suara Maulida yang kudengar, “Good luck ya, Dan!”.
Lalu aku jawab, “Ah, kamu berlebihan. Aku hanya ingin memberikan tugas ini, bukan ingin wawancara masuk kerja.”
Saat didepan ruangan Bu Rita, ada sesuatu yang menahanku untuk mengetuk pintu ruangan itu, dari jendela ruangan, Bu Rita terlihat sedang berbicara dengan seorang laki-laki, jadi aku memilih untuk menunggu diluar ruangan sampai orang itu keluar. Bu Rita sangat tidak senang apabila ada orang yang mengganggu percakapan antara ia dan orang lain. Setelah kurang lebih 15 menit, laki-laki tersebut akhirnya meninggalkan ruangan. Laki-laki yang sudah cukup tua, dengan memakai rompi dan kupluk yang terpasang dikepalanya tersenyum menyapa saat melihatku. Ia terlihat begitu ramah, mungkin ia adalah suami dari Bu Rita. Aku pun bergegas masuk ke ruangan, aku tidak mau terlambat memberikan berkas ini.
“Semua sudah saya revisi, Bu? Semoga tidak ada kesalahan.”, ucap ku.
Bu Rita memakai kacamatanya, “Bagus. Kamu jangan keluar ruangan sebelum saya selesai membaca nya.”
“Baik, Bu.”, jawabku.
Saat Bu Rita sedang membaca berkas tersebut, aku berkesempatan untuk melihat-lihat isi ruangan nya, aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini, karena ini pertama kalinya aku masuk keruangan sang manajer. Terlihat beberapa bingkai foto anak-anak Bu Rita, dan beberapa aksesori ruangan lainnya. Ruangan ini cukup cerah dengan dinding yang berwarna biru muda, warna dinding yang berbeda dengan dinding kantor, yaitu putih. Bu Rita pun selesai membaca, ia tersenyum, “Baiklah, saya rasa ini sudah cukup. Terima kasih atas bantuan nya, Dan.”
Mataku langsung tertuju kepada nya, aku senang melihatnya tersenyum, karena tidak semua pegawai dikantor dapat melihat senyumannya itu, “Oh iya, Bu. Sama-sama.. Saya senang kalau ternyata tidak ada kesalahan dalam revisi itu.”
Aku pun segera beranjak dari ruangan tersebut dan mulai bersiap-siap untuk pulang. Maulida sepertinya sedang menunggu seseorang dengan telepon genggam ditangannya.
“Kok kamu belum pulang? Mau dijemput sama cowok ya? Ciyeeeeeeee..”, aku pun bergurau.
            “Aku menunggumu, kita kan mau jenguk Bella. Kamu lupa?!”, jawabnya dengan kesal.
Aku pun menepuk dahi ku, “Oh iya! Maaf, Lid, aku lupa. Kita kerumah ku dulu ya buat ambil motor, jadi kita kerumah sakitnya naik motor saja, lalu aku bisa antar kamu pulang sampai rumah.”
Maulida hanya mengangguk dan kembali memainkan telepon genggam nya. Karena rumah sakit tempat Bella dirawat tidak jauh dengan tempat tinggalku, jadi aku bisa sekaligus mengantar Maulida pulang kerumahnya dengan menggunakan motor ku. Aku tidak pernah mengantar Maulida pulang, oleh karena itu, nanti adalah pengalaman pertama ku untuk mengantarnya pulang. Dari kantor, kami menaiki bus Transjakarta menuju rumah ku. Seperti biasanya, Transjakarta penuh dengan pegawai-pegawai yang terlihat lelah setelah seharian bekerja. Kami pun sampai di halte dan berjalan ke komplek tempat ku tinggal di daerah Bulungan. Sesampainya dirumah, mata Maulida melihat-lihat sekitar rumahku, “Wah, rumah kamu bagus ya. Halaman nya enak banget, ada pepohonan yang rindang gini, sejuk.”.
Aku tertawa, “Ah, kamu bisa aja. Di komplek ini, rumah ku adalah rumah yang paling sederhana daripada yang lain tau.”
Motor segera ku keluarkan, karena jam besuk sore di rumah sakit tidak lama lagi akan dibuka. Kami pun berangkat ke rumah sakit dan menyempatkan untuk berhenti di toko buah dan membeli sebuah parcel yang berisi buah untuk Bella.
Satu jam kami berada dirumah sakit, terlihat Bella dengan muka pucatnya. Ia senang sekali dengan kedatangan kami berdua, dan ternyata kami adalah rekan kantor pertama yang menjenguknya dirumah sakit. Bella terkena DBD, ia mengingatkan kami berdua, termasuk aku yang mempunyai halaman didepan rumah untuk membersihkan tempat-tempat yang berantakan dan lembab agar tidak ada nyamuk-nyamuk penyebab DBD berkeliaran dihalaman. Aku pun tidak lupa untuk menceritakan pengalamanku dalam mengerjakan tugasnya sebagai admin kantor tadi pagi, dan mereka berdua pun tertawa mendengar cerita ku.
Aku dan Maulida sudah dalam perjalanan pulang kearah rumah Maulida yang berada di Prapanca. Terdengar Maulida berseru, “Dan, nanti ada café didepan, kita mampir dulu ya, aku lapar.”
Aku pun membelokkan motor ke café tersebut. Café dengan setting-an tempat yang cukup unik, saat kami masuk, kami disambut seorang waiter yang mengantarkan kami ketempat duduk yang tersedia untuk kami berdua. Latar tempat café yang berupa luar angkasa, dengan replika planet-planet yang menggantung dilangit-langit café dan live music yang terdengar indah ditambah dengan perempuan yang kusukai duduk dengan wajahnya yang sungguh manis didepanku, membuat makan malam kali ini terasa sempurna. Seorang waiter datang dengan membawa sebuah buku dan pulpen, menanyakan pesanan kami. Setelah semua pesanan kami tercatat oleh waiter. Aku menatap Maulida, “Lid.. Aku………”
Maulida bingung, “Kamu kenapa? Mulai deh aneh nya..”
“Aku ketoliet sebentar ya.”, jawab ku.
“Yaudah sana, dasar aneh.”, muka nya terlihat sebal.
Aku tertawa dan beranjak dari tempat duduk. Sesungguhnya, aku tidak benar-benar ke toilet, tetapi aku ingin menghampiri seseorang yang sedang bermain musik diatas stage untuk meminta memutarkan lagu-lagu dari band kesukaan Maulida, Maroon 5.
Aku kembali duduk, “Aku gak aneh tau, tadi itu cuma bercanda aja………”
Maulida menyuruhku untuk diam dengan muka girang, “Ssssssttt, denger deh, mereka bawain lagu Maroon 5, pas banget, ya ampun.”
Dengar perkataannya, aku pun tertawa.
“Oh iya, kamu udah hubungi Pak Andhika?”, ia bertanya.
“Belum.. Tugas yang Bu Rita kasih tadi cukup menyita waktu untuk dimengerti jadi aku belum sempat untuk menelponnya, kamu liat sendiri kan aku selalu ada didepan komputer hari ini?”, ujar ku.

“Hmm, yaudah kalo gitu, cepat hubungi, mungkin Ayah mu sangat ingin kamu untuk menemui Pak Andhika. Eh, itu makanan kita datang! Yeay! Makan!”, Maulida tertawa kecil.

No comments:

Post a Comment