Ketiga berkas yang diberikan oleh Bu
Rita pagi ini sudah hampir selesai ku revisi. Tidak banyak kesalahan yang ada
didalam berkas-berkas ini, jadi, aku tidak perlu pusing-pusing untuk merevisi
nya. Lagipula, bukan aku yang seharusnya mengerjakan tugas ini, tetapi Bella.
Bella adalah rekan kantor ku sama seperti Maulida, tetapi Bella bekerja
dibagian admin, berbeda dengan ku dan Maulida. Sudah 2 hari ini Bella tidak
masuk kantor karena sakit, jadi, Bu Rita memberikan tugasnya kepadaku, mungkin
karena Bu Rita melihat ku sedang tidur dan tidak melakukan tugas apapun pagi
tadi, sebab itu dia menyuruhku untuk merevisi berkas ini. Aku dan Maulida
berencana menjenguk Bella sore ini setelah pekerjaan kami selesai. Sudah hampir
sore, suasana kantor mulai ramai oleh obrolan-obrolan pegawai lain yang sedang
bercengkrama satu sama lain, terlihat Maulida sedang menggunakan mesin foto
copy yang tidak jauh dari meja ku. Tak lama kemudian, ia menghampiri meja ku, “Belum
selesai juga, Dan?”.
“Udah kok! Tinggal kubaca sekali lagi
agar tak ada kesalahan.”, jawab ku.
“Oh, bagus deh. Cepat cetak dan
berikan ke Bu Rita, sepertinya ia sudah menunggumu di ruangannya. Pokoknya,
jangan sampai aku mendengar suara lantang Bu Rita saat kamu berada diruangannya
ya!”, Maulida tertawa.
“Sudah lah, jangan menakut-nakuti ku
seperti itu. Mungkin besok giliranmu untuk mengerjakan tugas-tugas Bella.”, aku
pun tertawa.
Berkas ini sudah siap untuk ku
berikan kepada Bu Rita, aku harap suasana Bu Rita sore ini sedang cerah, jadi
tidak terlihat muka dingin nya saat ku ketuk pintu ruangan. aku berdiri dari
bangku kerjaku dan melangkah menuju ruangan Bu Rita. Lagi-lagi suara Maulida
yang kudengar, “Good luck ya, Dan!”.
Lalu aku jawab, “Ah, kamu berlebihan.
Aku hanya ingin memberikan tugas ini, bukan ingin wawancara masuk kerja.”
Saat didepan ruangan Bu Rita, ada sesuatu
yang menahanku untuk mengetuk pintu ruangan itu, dari jendela ruangan, Bu Rita
terlihat sedang berbicara dengan seorang laki-laki, jadi aku memilih untuk
menunggu diluar ruangan sampai orang itu keluar. Bu Rita sangat tidak senang
apabila ada orang yang mengganggu percakapan antara ia dan orang lain. Setelah kurang
lebih 15 menit, laki-laki tersebut akhirnya meninggalkan ruangan. Laki-laki
yang sudah cukup tua, dengan memakai rompi dan kupluk yang terpasang
dikepalanya tersenyum menyapa saat melihatku. Ia terlihat begitu ramah, mungkin
ia adalah suami dari Bu Rita. Aku pun bergegas masuk ke ruangan, aku tidak mau
terlambat memberikan berkas ini.
“Semua sudah saya revisi, Bu? Semoga tidak
ada kesalahan.”, ucap ku.
Bu Rita memakai kacamatanya, “Bagus. Kamu
jangan keluar ruangan sebelum saya selesai membaca nya.”
“Baik, Bu.”, jawabku.
Saat Bu Rita sedang membaca berkas
tersebut, aku berkesempatan untuk melihat-lihat isi ruangan nya, aku tidak
ingin melewatkan kesempatan ini, karena ini pertama kalinya aku masuk keruangan
sang manajer. Terlihat beberapa bingkai foto anak-anak Bu Rita, dan beberapa
aksesori ruangan lainnya. Ruangan ini cukup cerah dengan dinding yang berwarna
biru muda, warna dinding yang berbeda dengan dinding kantor, yaitu putih. Bu
Rita pun selesai membaca, ia tersenyum, “Baiklah, saya rasa ini sudah cukup. Terima
kasih atas bantuan nya, Dan.”
Mataku langsung tertuju kepada nya,
aku senang melihatnya tersenyum, karena tidak semua pegawai dikantor dapat
melihat senyumannya itu, “Oh iya, Bu. Sama-sama.. Saya senang kalau ternyata
tidak ada kesalahan dalam revisi itu.”
Aku pun segera beranjak dari ruangan
tersebut dan mulai bersiap-siap untuk pulang. Maulida sepertinya sedang
menunggu seseorang dengan telepon genggam ditangannya.
“Kok kamu belum pulang? Mau dijemput
sama cowok ya? Ciyeeeeeeee..”, aku pun bergurau.
“Aku
menunggumu, kita kan mau jenguk Bella. Kamu lupa?!”, jawabnya dengan kesal.
Aku pun menepuk dahi ku, “Oh iya!
Maaf, Lid, aku lupa. Kita kerumah ku dulu ya buat ambil motor, jadi kita
kerumah sakitnya naik motor saja, lalu aku bisa antar kamu pulang sampai rumah.”
Maulida hanya mengangguk dan kembali
memainkan telepon genggam nya. Karena rumah sakit tempat Bella dirawat tidak
jauh dengan tempat tinggalku, jadi aku bisa sekaligus mengantar Maulida pulang
kerumahnya dengan menggunakan motor ku. Aku tidak pernah mengantar Maulida
pulang, oleh karena itu, nanti adalah pengalaman pertama ku untuk mengantarnya
pulang. Dari kantor, kami menaiki bus Transjakarta menuju rumah ku. Seperti biasanya,
Transjakarta penuh dengan pegawai-pegawai yang terlihat lelah setelah seharian
bekerja. Kami pun sampai di halte dan berjalan ke komplek tempat ku tinggal di
daerah Bulungan. Sesampainya dirumah, mata Maulida melihat-lihat sekitar rumahku,
“Wah, rumah kamu bagus ya. Halaman nya enak banget, ada pepohonan yang rindang
gini, sejuk.”.
Aku tertawa, “Ah, kamu bisa aja. Di komplek
ini, rumah ku adalah rumah yang paling sederhana daripada yang lain tau.”
Motor segera ku keluarkan, karena jam
besuk sore di rumah sakit tidak lama lagi akan dibuka. Kami pun berangkat ke
rumah sakit dan menyempatkan untuk berhenti di toko buah dan membeli sebuah parcel yang berisi buah untuk Bella.
Satu jam kami berada dirumah sakit,
terlihat Bella dengan muka pucatnya. Ia senang sekali dengan kedatangan kami
berdua, dan ternyata kami adalah rekan kantor pertama yang menjenguknya dirumah
sakit. Bella terkena DBD, ia mengingatkan kami berdua, termasuk aku yang
mempunyai halaman didepan rumah untuk membersihkan tempat-tempat yang
berantakan dan lembab agar tidak ada nyamuk-nyamuk penyebab DBD berkeliaran
dihalaman. Aku pun tidak lupa untuk menceritakan pengalamanku dalam mengerjakan
tugasnya sebagai admin kantor tadi pagi, dan mereka berdua pun tertawa
mendengar cerita ku.
Aku dan Maulida sudah dalam
perjalanan pulang kearah rumah Maulida yang berada di Prapanca. Terdengar
Maulida berseru, “Dan, nanti ada café didepan, kita mampir dulu ya, aku lapar.”
Aku pun membelokkan motor ke café tersebut.
Café dengan setting-an tempat yang
cukup unik, saat kami masuk, kami disambut seorang waiter yang mengantarkan kami ketempat duduk yang tersedia untuk
kami berdua. Latar tempat café yang berupa luar angkasa, dengan replika
planet-planet yang menggantung dilangit-langit café dan live music yang terdengar indah ditambah dengan perempuan yang
kusukai duduk dengan wajahnya yang sungguh manis didepanku, membuat makan malam
kali ini terasa sempurna. Seorang waiter
datang dengan membawa sebuah buku dan pulpen, menanyakan pesanan kami. Setelah semua
pesanan kami tercatat oleh waiter. Aku
menatap Maulida, “Lid.. Aku………”
Maulida bingung, “Kamu kenapa? Mulai
deh aneh nya..”
“Aku ketoliet sebentar ya.”, jawab
ku.
“Yaudah sana, dasar aneh.”, muka nya
terlihat sebal.
Aku tertawa dan beranjak dari tempat
duduk. Sesungguhnya, aku tidak benar-benar ke toilet, tetapi aku ingin
menghampiri seseorang yang sedang bermain musik diatas stage untuk meminta
memutarkan lagu-lagu dari band kesukaan Maulida, Maroon 5.
Aku kembali duduk, “Aku gak aneh tau,
tadi itu cuma bercanda aja………”
Maulida menyuruhku untuk diam dengan
muka girang, “Ssssssttt, denger deh, mereka bawain lagu Maroon 5, pas banget,
ya ampun.”
Dengar perkataannya, aku pun tertawa.
“Oh iya, kamu udah hubungi Pak
Andhika?”, ia bertanya.
“Belum.. Tugas yang Bu Rita kasih
tadi cukup menyita waktu untuk dimengerti jadi aku belum sempat untuk
menelponnya, kamu liat sendiri kan aku selalu ada didepan komputer hari ini?”,
ujar ku.
“Hmm, yaudah kalo gitu, cepat
hubungi, mungkin Ayah mu sangat ingin kamu untuk menemui Pak Andhika. Eh, itu
makanan kita datang! Yeay! Makan!”, Maulida tertawa kecil.
No comments:
Post a Comment