Minggu pagi yang cerah di Jakarta,
duduk di halaman rumah dengan ditemani segelas teh manis hangat, dan dua
potongan roti tawar yang berisi selai nanas kesukaan ku. Hari-hari yang panjang
telah berakhir, hari ini adalah hari dimana aku dapat merelaksasikan badan dan
pikiran dari dunia yang penuh lika-liku. Sebelum matahari terbit, aku
membiasakan diri untuk keluar rumah dan mengitari komplek. Iya, aku jogging
pagi, itu sudah menjadi rutinitas ku setiap minggu pagi sebelum relaksasi atau
duduk-duduk dihalaman rumah. Karena pekerjaan kantor yang banyak menghabiskan
waktu untuk duduk didepan komputer sepanjang hari, jadi, aku harus melakukan
rutinitas jogging ini untuk menyeimbangkan kesehatan badan ku.
Tadi saat jogging melewati depan
gerbang komplek, ada suara sapaan seseorang yang selalu menyapa ku saat jogging
pagi.
“Pagi, Mas Dani..”, sapaan Satpam itu
terdengar oleh ku.
Lalu ku balas dengan senyuman kecil, “Pagi
juga, Pak.”.
“Mas, tunggu dulu sebentar..”, panggilan
Satpam tersebut menahan langkah lari ku untuk melanjutkan jogging.
“Ini ada kiriman paket, Mas. Saya
terima kemarin sore dari seorang kurir, tadinya mau saya biarkan kurir itu
kasih paket ini kerumah Mas langsung, tapi saya agak khawatir, karena paket ini
agak misterius, dengan berbentuk kotak besar yang cukup berat, nama pengirimnya
dan alamatnya juga tak jelas, jadi saya tahan dulu di pos ini.”, ucap Pak Satpam.
Aku cukup terkejut melihatnya, karena
tidak biasanya aku dapat paket sebesar ini, apalagi aku tidak pernah membeli
apapun di online shop atau meminta orang untuk mengirimkan barang lewat kurir. Saat
kulihat nama pengirimnya, aku tersenyum, “Oh iya, Pak. Makasih ya..”.
“Iya, Mas. Nanti kalau ada apa-apa,
langsung telepon ke pos ya, Mas.”, seruan Pak Satpam.
Lalu aku mengangguk dan membawa paket
itu pulang kerumah. Jogging kali ini tidak terlalu memakan waktu lama seperti
biasanya, karena aku sudah penasaran dengan isi paket tersebut.
Kotak besar, cukup berat, dibungkus
sederhana oleh kertas coklat, dan kertas yang ditempel tertuliskan nama
pengirimnya, “Dodo”, dengan alamat yang hanya bertuliskan “Jogjakarta”. Saat
aku melihat nama pengirimnya, aku sempat tertawa kecil dan pikiran ku langsung
tertuju kepada Ayah. Dodo adalah nama yang Ayah berikan untuk boneka tangan buatan
nya. Dodo, boneka berbentuk lumba-lumba dengan topeng hitam yang terpasang
dimata nya. Saat aku masih duduk dibangku kanak-kanak, Ayah membuatkan ku dua
boneka tangan yang terbuat dari kain flanel, Dodo dan Dede, Dede adalah boneka
berbentuk buaya yang memakai kacamata, Dodo adalah boneka Ayah, sedangkan Dede
adalah boneka ku, ia cukup terampil dalam membuat kedua boneka tangan tersebut.
Aku selalu tidak sabar saat menanti Ayah pulang dari pekerjaan nya, karena ia
selalu menyempatkan untuk bermain boneka-boneka tersebut dengan ku disela-sela
waktu istirahatnya. Dodo selalu menyampaikan nasihat-nasihat dan motivasi untuk
Dede, agar Dede atau aku dapat menjadi seseorang yang berguna dan sukses dimasa
depan. Nasihat dan motivasi tersebut selalu ada dipikiran ku hingga saat ini. Saat
aku pindah untuk bekerja di Jakarta, Dodo dan Dede terpisah dengan jarak yang
jauh untuk pertama kalinya. Dede aku bawa kekantor dan ku taruh dimeja kantorku
untuk selalu mengingatkan ku akan nasihat dan motivasi yang Ayah berikan.
Tangan menggenggam segelas teh hangat
yang telah kubuat, dan suara burung-burung perkutut bersahut-sahutan dilangit
lepas. Duduk dihalaman rumah ini menjadi salah satu tempat favoritku saat hari
libur tiba. Kotak tersebut masih rapi diatas meja, aku masih bertanya-tanya,
apa yang Ayah kirimkan kepada ku. Lalu, aku mangambil sebuah telepon genggam
yang berada di saku celana untuk menelpon Ayah.
“Selamat pagi, Yah..”, sapaan ku.
Dengan suara khas nya Ayah menjawab
sapaan anak semata wayang nya ini, “Pagi, Anak kesayangan Ayah!”
Aku tertawa kecil, dan berbasa-basi.
Lalu aku bertanya, “Ayah, paket ini berisi apa? Tumben aku dapat paket dari
Ayah, kan biasanya aku yang kirim ke Jogja.”
Lantas Ayah pun tertawa mendengar
itu, “Oh, sudah sampai di Jakarta? Bagus lah, sekarang, selesaikan pembicaraan
ini, dan cepat buka paket itu. Semoga kamu suka dengan isi nya. Ayah juga
berharap, kamu dapat menggunakan nya sebaik mungkin, siapa tau itu berguna untuk
mu dan keuangan mu.”
Aku semakin bingung dengan perkataan
Ayah lalu menutup pembicaraan yang singkat ini, “Baiklah, Yah. Makasih atas
paketnya ya!”
Tak
lama setelah obrolan lewat telepon tersebut ku selesaikan, aku mulai merobek
lapisan paket itu dan membuka kotak nya. Kotak tersebut berisi sebuah kamera, 3
lensa, dan secarik kartu nama. Ayah adalah pensiunan dari redaksi media massa
ternama di Jogjakarta, selain itu, ia juga seorang freelance fotografer yang
menerima jasa foto untuk acara-acara besar, ia seorang fotografer handal,
banyak sekali orang-orang yang ingin menggunakan jasa nya untuk lembaran-lembaran
foto yang memiliki sebuah kenangan tersendiri. Tak jarang Ayah menjadi seorang
fotografer untuk resepsi-resepsi pernikahan anak dari pejabat dan orang-orang
besar di Jogjakarta.
Ayah menyelipkan sebuah kartu nama
didalam paket tersebut, kartu nama itu bertuliskan “Andhika Kusuma” dan dua
nomor telepon. Mata ku terpejam, dan mengingat-ingat nama tersebut. Nama yang
sepertinya sudah tidak asing lagi untuk ku. Akhirnya aku dapat mengingat nama
tersebut, nama dari seseorang teman baik Ayah saat menjadi fotografer untuk
media massa. Ayah pernah mengajaknya untuk sekedar bersilaturahmi kerumah kami
disela-sela perkerjaan mereka. Aku pernah dikenalkan dengan orang tersebut,
salah satu rekan Ayah di dunia fotografi itu sangat baik, dan cukup handal
seperti Ayah. Mungkin Ayah menyuruh ku untuk menyempatkan diri menemui orang
ini.
Aku membongkar isi paket tersebut, kemudian
memasangkan sebuah lensa ke kamera. Aku menggenggam kamera dan bingung apa yang
harus kulakukan dengan kamera ini. Karena keahlian ku yang sangat amat minim
dalam menggunakan kamera, aku memilih
pendidikan yang berbeda dari Ayah, bukan dari pendidikan dibidang fotografi, tetapi
aku memilih pendidikan dibidang sistem informasi. Suara jepretan-jepretan kamera ini pun terdengar saat ku mulai memencet
salah satu tombol. Dari burung perkutut yang berterbangan, hingga roti yang
sudah sebagian ku makan pun tak luput dari jepretan
kamera. Aku yang sedang asyik berfoto-foto ria dan tidak sadar saat sudah berada
didepan gerbang rumah, terlihat Satpam yang sedang berpatroli berkata, “Wah, ternyata
isi paket itu kamera ya, Mas?”.
Aku tertawa, “Iya, Pak. Bapak kira
ini bom yah?”
Ia pun ikut tertawa dan melanjutkan
kegiatan nya, “Iya, Mas..”
Aku mulai berpikir, mungkin tujuan
Ayah mengirimkan kamera kesayangan nya ini adalah ingin melihat anak
satu-satunya dapat mengoperasikan sebuah kamera, tidak hanya handal dalam
mengoperasikan komputer. Mungkin tidak sehandal Ayah, tetapi setidaknya aku
bisa mengoperasikan dan mengerti kamera dengan baik.
“Selain tujuan Ayah itu, menjadi
seorang freelancer didunia fotografi ini bisa meningkatkan keuangan ku!”, aku
pun tertawa.
No comments:
Post a Comment