Tuesday, August 26, 2014

Chapter 1 : "Paket Misterius"

Minggu pagi yang cerah di Jakarta, duduk di halaman rumah dengan ditemani segelas teh manis hangat, dan dua potongan roti tawar yang berisi selai nanas kesukaan ku. Hari-hari yang panjang telah berakhir, hari ini adalah hari dimana aku dapat merelaksasikan badan dan pikiran dari dunia yang penuh lika-liku. Sebelum matahari terbit, aku membiasakan diri untuk keluar rumah dan mengitari komplek. Iya, aku jogging pagi, itu sudah menjadi rutinitas ku setiap minggu pagi sebelum relaksasi atau duduk-duduk dihalaman rumah. Karena pekerjaan kantor yang banyak menghabiskan waktu untuk duduk didepan komputer sepanjang hari, jadi, aku harus melakukan rutinitas jogging ini untuk menyeimbangkan kesehatan badan ku.
Tadi saat jogging melewati depan gerbang komplek, ada suara sapaan seseorang yang selalu menyapa ku saat jogging pagi.
“Pagi, Mas Dani..”, sapaan Satpam itu terdengar oleh ku.
Lalu ku balas dengan senyuman kecil, “Pagi juga, Pak.”.
“Mas, tunggu dulu sebentar..”, panggilan Satpam tersebut menahan langkah lari ku untuk melanjutkan jogging.
“Ini ada kiriman paket, Mas. Saya terima kemarin sore dari seorang kurir, tadinya mau saya biarkan kurir itu kasih paket ini kerumah Mas langsung, tapi saya agak khawatir, karena paket ini agak misterius, dengan berbentuk kotak besar yang cukup berat, nama pengirimnya dan alamatnya juga tak jelas, jadi saya tahan dulu di pos ini.”, ucap Pak Satpam.
Aku cukup terkejut melihatnya, karena tidak biasanya aku dapat paket sebesar ini, apalagi aku tidak pernah membeli apapun di online shop atau meminta orang untuk mengirimkan barang lewat kurir. Saat kulihat nama pengirimnya, aku tersenyum, “Oh iya, Pak. Makasih ya..”.
“Iya, Mas. Nanti kalau ada apa-apa, langsung telepon ke pos ya, Mas.”, seruan Pak Satpam.
Lalu aku mengangguk dan membawa paket itu pulang kerumah. Jogging kali ini tidak terlalu memakan waktu lama seperti biasanya, karena aku sudah penasaran dengan isi paket tersebut.
Kotak besar, cukup berat, dibungkus sederhana oleh kertas coklat, dan kertas yang ditempel tertuliskan nama pengirimnya, “Dodo”, dengan alamat yang hanya bertuliskan “Jogjakarta”. Saat aku melihat nama pengirimnya, aku sempat tertawa kecil dan pikiran ku langsung tertuju kepada Ayah. Dodo adalah nama yang Ayah berikan untuk boneka tangan buatan nya. Dodo, boneka berbentuk lumba-lumba dengan topeng hitam yang terpasang dimata nya. Saat aku masih duduk dibangku kanak-kanak, Ayah membuatkan ku dua boneka tangan yang terbuat dari kain flanel, Dodo dan Dede, Dede adalah boneka berbentuk buaya yang memakai kacamata, Dodo adalah boneka Ayah, sedangkan Dede adalah boneka ku, ia cukup terampil dalam membuat kedua boneka tangan tersebut. Aku selalu tidak sabar saat menanti Ayah pulang dari pekerjaan nya, karena ia selalu menyempatkan untuk bermain boneka-boneka tersebut dengan ku disela-sela waktu istirahatnya. Dodo selalu menyampaikan nasihat-nasihat dan motivasi untuk Dede, agar Dede atau aku dapat menjadi seseorang yang berguna dan sukses dimasa depan. Nasihat dan motivasi tersebut selalu ada dipikiran ku hingga saat ini. Saat aku pindah untuk bekerja di Jakarta, Dodo dan Dede terpisah dengan jarak yang jauh untuk pertama kalinya. Dede aku bawa kekantor dan ku taruh dimeja kantorku untuk selalu mengingatkan ku akan nasihat dan motivasi yang Ayah berikan.
Tangan menggenggam segelas teh hangat yang telah kubuat, dan suara burung-burung perkutut bersahut-sahutan dilangit lepas. Duduk dihalaman rumah ini menjadi salah satu tempat favoritku saat hari libur tiba. Kotak tersebut masih rapi diatas meja, aku masih bertanya-tanya, apa yang Ayah kirimkan kepada ku. Lalu, aku mangambil sebuah telepon genggam yang berada di saku celana untuk menelpon Ayah.
“Selamat pagi, Yah..”, sapaan ku.
Dengan suara khas nya Ayah menjawab sapaan anak semata wayang nya ini, “Pagi, Anak kesayangan Ayah!”
Aku tertawa kecil, dan berbasa-basi. Lalu aku bertanya, “Ayah, paket ini berisi apa? Tumben aku dapat paket dari Ayah, kan biasanya aku yang kirim ke Jogja.”
Lantas Ayah pun tertawa mendengar itu, “Oh, sudah sampai di Jakarta? Bagus lah, sekarang, selesaikan pembicaraan ini, dan cepat buka paket itu. Semoga kamu suka dengan isi nya. Ayah juga berharap, kamu dapat menggunakan nya sebaik mungkin, siapa tau itu berguna untuk mu dan keuangan mu.”
Aku semakin bingung dengan perkataan Ayah lalu menutup pembicaraan yang singkat ini, “Baiklah, Yah. Makasih atas paketnya ya!”
            Tak lama setelah obrolan lewat telepon tersebut ku selesaikan, aku mulai merobek lapisan paket itu dan membuka kotak nya. Kotak tersebut berisi sebuah kamera, 3 lensa, dan secarik kartu nama. Ayah adalah pensiunan dari redaksi media massa ternama di Jogjakarta, selain itu, ia juga seorang freelance fotografer yang menerima jasa foto untuk acara-acara besar, ia seorang fotografer handal, banyak sekali orang-orang yang ingin menggunakan jasa nya untuk lembaran-lembaran foto yang memiliki sebuah kenangan tersendiri. Tak jarang Ayah menjadi seorang fotografer untuk resepsi-resepsi pernikahan anak dari pejabat dan orang-orang besar di Jogjakarta.
Ayah menyelipkan sebuah kartu nama didalam paket tersebut, kartu nama itu bertuliskan “Andhika Kusuma” dan dua nomor telepon. Mata ku terpejam, dan mengingat-ingat nama tersebut. Nama yang sepertinya sudah tidak asing lagi untuk ku. Akhirnya aku dapat mengingat nama tersebut, nama dari seseorang teman baik Ayah saat menjadi fotografer untuk media massa. Ayah pernah mengajaknya untuk sekedar bersilaturahmi kerumah kami disela-sela perkerjaan mereka. Aku pernah dikenalkan dengan orang tersebut, salah satu rekan Ayah di dunia fotografi itu sangat baik, dan cukup handal seperti Ayah. Mungkin Ayah menyuruh ku untuk menyempatkan diri menemui orang ini.
Aku membongkar isi paket tersebut, kemudian memasangkan sebuah lensa ke kamera. Aku menggenggam kamera dan bingung apa yang harus kulakukan dengan kamera ini. Karena keahlian ku yang sangat amat minim dalam menggunakan kamera, aku  memilih pendidikan yang berbeda dari Ayah, bukan dari pendidikan dibidang fotografi, tetapi aku memilih pendidikan dibidang sistem informasi. Suara jepretan-jepretan kamera ini pun terdengar saat ku mulai memencet salah satu tombol. Dari burung perkutut yang berterbangan, hingga roti yang sudah sebagian ku makan pun tak luput dari jepretan kamera. Aku yang sedang asyik berfoto-foto ria dan tidak sadar saat sudah berada didepan gerbang rumah, terlihat Satpam yang sedang berpatroli berkata, “Wah, ternyata isi paket itu kamera ya, Mas?”.
Aku tertawa, “Iya, Pak. Bapak kira ini bom yah?”
Ia pun ikut tertawa dan melanjutkan kegiatan nya, “Iya, Mas..”
Aku mulai berpikir, mungkin tujuan Ayah mengirimkan kamera kesayangan nya ini adalah ingin melihat anak satu-satunya dapat mengoperasikan sebuah kamera, tidak hanya handal dalam mengoperasikan komputer. Mungkin tidak sehandal Ayah, tetapi setidaknya aku bisa mengoperasikan dan mengerti kamera dengan baik.
“Selain tujuan Ayah itu, menjadi seorang freelancer didunia fotografi ini bisa meningkatkan keuangan ku!”, aku pun tertawa.

No comments:

Post a Comment