Tuesday, September 16, 2014

Chapter 4 : "Monday, I'm in love!"

Semua makanan sudah kami habiskan, alunan-alunan musik country bergema. Setelah beberapa lagu Maroon 5 yang aku sengaja minta untuk dinyanyikan telah selesai, para pemain live music itu pun menyanyikan lagu-lagu country, lagu-lagu yang tidak kami tau, tetapi enak untuk didengar. Mungkin ini akan menjadi tempat favorite kami berdua, selain lokasi yang terletak ditengah-tengah antara rumahku dengannya, makanan yang disediakan disini pun beragam, dan pastinya lezat. Di café ini aku dapat merasakan dinner pertama ku, Dice N’ Dice, akan selalu ku ingat nama café ini.
Maulida menjentikkan jarinya didepan wajah ku, “Hai! Kenapa diam sambil senyum-senyum gitu? Jangan terlihat seperti orang gila gitu ah. Hahaha”
Aku pun kaget, dan menjawab dengan bicara yang terbata-bata, “Ah.. Apa sih kamu? Siapa yang senyum sih? Mulut ku masih datar dan biasa aja.”
“Ya kamu lah, senyum-senyum seperti orang gila gitu. Hahaha”, Maulida mencolekkan jari nya yang penuh dengan saus tomat ke arah wajahku.
Aku pun tidak segan untuk membalas nya dengan melumuri kedua pipinya dengan saus tomat yang ada di kedua jari ku, dan kami pun saling tertawa. Makan malam ini membuat kami lebih dekat. Setelah selesai makan, aku mengantarnya pulang. Tidak lebih dari 10 menit, kami pun sampai dirumahnya. Maulida masih tinggal bersama keluarganya, tidak sama seperti ku yang merupakan anak perantauan dari luar Jakarta. Maulida memiliki 2 adik, seorang laki-laki yang masih duduk dibangku SMP dan seorang perempuan yang duduk dibangku SD. Ia juga memiliki Kakak laki-laki yang bekerja di Kanada.
“Makasih yah buat jalan-jalan nya malam ini. Jangan kapok-kapok buat mengajak jalan lagi nanti.”, ujar nya.
“Iya, sama-sama. Tenang aja, aku pasti akan mengajakmu makan malam lagi.”, gurau ku.
“Kamu gak mau mampir kerumah dulu? Papa dan Mama mungkin ingin lihat seperti apa wajah mu, aku sering bercerita kepada mereka tentang mu. Mungkin nanti aku akan memberitahu mereka tentang pengalaman mu saat pertama kali masuk ruangan Bu Rita.”, ia pun tertawa.
Aku menolak tawarannya, “Mungkin lain hari aku akan mampir, sekarang kan sudah malam, pasti mereka sedang beristirahat, aku tidak enak untuk mengganggu nya. Oh iya, jangan sampai kamu ceritakan tentang itu, aku pasti akan malu saat bertemu dengan mereka nanti.”
Ia kembali tertawa, “Baiklah. Sekali lagi, makasih ya. Hati-hati dijalan, jangan ngebut-ngebut.
Aku tersenyum mendengar perhatian yang ia berikan, “Iya, aku engga akan ngebut kok. Aku kan pengendara yang baik.”
Maulida berseru, “Hubungi aku ya setelah kamu sampai rumah.”
“Baik, Bu!”, aku tertawa.
Ku hidupkan mesin motor dan mulai berjalan pulang kerumah. Maulida terlihat senyum sambil melambaikan tangan nya. Dijalan aku mulai kembali senyum-senyum sendiri mengingat semua yang telah terjadi hari ini. Entah mengapa, hanya ia yang ada dalam pikiran ku saat ini. Sebelumnya aku tidak pernah terlalu memikirkan nya seperti ini. Dan aku secara tidak sadar berteriak dengan keadaan yang masih mengendarai motor, “MONDAY I’M IN LOVE!”.
Aku berjalan dengan pelan di sisi kiri jalan sekaligus melihat Jakarta pada malam hari, jalanan yang cukup ramai oleh warga-warga Jakarta yang masih dalam perjalanan pulang dari pekerjaan mereka masing-masing, bunyi klakson-klakson kendaraan lain saling bersahutan, polisi yang masih tetap berdiri mengatur lalu lintas yang padat, dan trotoar yang ramai oleh pedagang. Malam ini tak akan ku lupakan.
Sesampainya dirumah, aku langsung menghubungi Maulida sesuai janji ku tadi. Dering nada telepon terus terdengar, masih belum ada jawaban darinya. Aku menutup panggilan tersebut, karena mungkin ia sedang mandi, makan, atau apapun itu. Lalu, aku mengirim pesan kepadanya dan mengatakan bahwa aku sudah sampai dirumah. Tidak lama kemudian, ia membalas pesan tersebut, pesan tersebut berisi :
Hai! Maaf ya, tadi handphone-ku ada di kamar, sedangkan aku lagi makan di meja makan, jadi aku engga tau kalau ada telepon dari kamu. Oh iya, syukurlah kalau kamu udah dirumah, cepat mandi, makan dan siap-siap untuk tidur. Jangan tidur larut malam agar besok engga tidur lagi dikantor, hehe.
Lagi-lagi perhatian nya dapat membuatku tersenyum gembira. Saat memegang handphone ini aku teringat untuk menghubungi Pak Andhika. Aku ragu untuk menelpon nya malam ini, saat ku lihat jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Dengan sedikit keraguan tersebut, akhirnya aku menelponnya.
“Halo, selamat malam, dengan siapa saya bicara?”, terdengar suara yang sedikit pelan dan berat seperti orang yang baru saja bangun tidur.
Lalu ku jawab, “Halo, ini Om Andhika? Saya Dani anak dari Pak Broto.”
“Wah, Dani! Apa kabar? Gimana Ayah kamu sekarang? Masih sehat seperti dulu?”, suara yang pelan tadi terdengar berubah menjadi bersemangat.
Mendengar balasan nya, aku pun sedikit lega karena tidak membuatnya marah, “Saya baik-baik, Om, begitu juga dengan Ayah yang masih sehat seperti waktu muda.”
“Syukurlah, saya senang mendengarnya. Oh iya, ada apa kamu menelpon malam-malam seperti ini? Mengganggu saya sedang tidur saja.”, gurau nya.
Aku tertawa, “Aduh, maaf telah ganggu tidur Om, saya jadi tidak enak. Karena saya sudah terlalu penasaran dengan apa tujuan Ayah memberikan saya semua ini, jadi saya menghubungi Om sekarang.”
“Memberikan apa, Dan?”, tanya nya yang terdengar bingung.
Lantas aku jelaskan semuanya, “Jadi, hari Minggu kemarin, saya mendapat paket kiriman dari Ayah. Isinya satu kamera kesayangan nya, 3 lensa, dan sebuah kartu nama Om ini. Saat saya hubungi Ayah, ia bilang bahwa saya harus menghubungi Om Andhika.”
Ia tertawa, “Akhirnya ia mewariskan juga kamera itu. Ayah mu dulu pernah berkata bahwa ia akan mewariskan kamera tersebut ke anak satu-satu nya. Mungkin kamu harus belajar untuk menggunakannya. Saya punya sekolah fotografi di Blok M, kamu bisa saya ajari bagaimana menggunakan kamera dengan baik. Jika ada waktu, kamu boleh datang dan membawa kamera sekaligus 3 lensa tersebut.”
Aku senang mendengar tawarannya, “Wah! Syukurlah jika Om mau membantu saya menggunakan kamera ini. Kemarin, saat saya mencoba berfoto-foto dengan kamera ini, hasilnya jelek, tidak ada gambar yang jelas, semua gambar terlihat buram.”
Ia kembali tertawa, “Kalau seperti itu, kamu harus belajar dari nol berarti, Nak! Disana kamu bisa berkenalan dengan murid-murid ku yang lain, kamu bisa belajar menggunakan dan dapat menghasilkan suatu gambar yang baik nantinya. Mungkin tidak akan saya jelaskan panjang lebar disini, kamu harus datang ke sekolah fotografi saya untuk lebih jelasnya.”
“Baiklah, Om. Mungkin mereka akan menertawai saya nanti, jika mereka tau kalau saya adalah seorang anak fotografer profesional yang tidak bisa mendapatkan satu foto dengan baik.”, aku tertawa.
Ia pun ikut tertawa, “Hal yang seperti itu tidak usah dipikirkan, datang saja. Alamat lengkap sekolah fotografi nya akan saya kirim lewat SMS, sekarang saatnya orang tua untuk melanjutkan tidurnya, boleh?”
Mendengar kata-kata terakhirnya aku pun tertawa dan merasa tidak enak, “Boleh, Om. Maaf sudah mengganggu. Terima kasih untuk tawarannya, saya pasti datang. Mungkin hari Sabtu, saat libur kantor saya baru bisa kesana.”

“Ok! Saya tunggu kedatanganmu, Nak!”, jawab nya. 

No comments:

Post a Comment