Semua makanan sudah kami habiskan,
alunan-alunan musik country bergema.
Setelah beberapa lagu Maroon 5 yang aku sengaja minta untuk dinyanyikan telah
selesai, para pemain live music itu
pun menyanyikan lagu-lagu country,
lagu-lagu yang tidak kami tau, tetapi enak untuk didengar. Mungkin ini akan
menjadi tempat favorite kami berdua,
selain lokasi yang terletak ditengah-tengah antara rumahku dengannya, makanan
yang disediakan disini pun beragam, dan pastinya lezat. Di café ini aku dapat
merasakan dinner pertama ku, Dice N’
Dice, akan selalu ku ingat nama café ini.
Maulida menjentikkan jarinya didepan
wajah ku, “Hai! Kenapa diam sambil senyum-senyum gitu? Jangan terlihat seperti
orang gila gitu ah. Hahaha”
Aku pun kaget, dan menjawab dengan
bicara yang terbata-bata, “Ah.. Apa sih kamu? Siapa yang senyum sih? Mulut ku
masih datar dan biasa aja.”
“Ya kamu lah, senyum-senyum seperti
orang gila gitu. Hahaha”, Maulida mencolekkan jari nya yang penuh dengan saus
tomat ke arah wajahku.
Aku pun tidak segan untuk membalas
nya dengan melumuri kedua pipinya dengan saus tomat yang ada di kedua jari ku,
dan kami pun saling tertawa. Makan malam ini membuat kami lebih dekat. Setelah
selesai makan, aku mengantarnya pulang. Tidak lebih dari 10 menit, kami pun
sampai dirumahnya. Maulida masih tinggal bersama keluarganya, tidak sama
seperti ku yang merupakan anak perantauan dari luar Jakarta. Maulida memiliki 2
adik, seorang laki-laki yang masih duduk dibangku SMP dan seorang perempuan
yang duduk dibangku SD. Ia juga memiliki Kakak laki-laki yang bekerja di
Kanada.
“Makasih yah buat jalan-jalan nya
malam ini. Jangan kapok-kapok buat mengajak jalan lagi nanti.”, ujar nya.
“Iya, sama-sama. Tenang aja, aku
pasti akan mengajakmu makan malam lagi.”, gurau ku.
“Kamu gak mau mampir kerumah dulu?
Papa dan Mama mungkin ingin lihat seperti apa wajah mu, aku sering bercerita
kepada mereka tentang mu. Mungkin nanti aku akan memberitahu mereka tentang
pengalaman mu saat pertama kali masuk ruangan Bu Rita.”, ia pun tertawa.
Aku menolak tawarannya, “Mungkin lain
hari aku akan mampir, sekarang kan sudah malam, pasti mereka sedang
beristirahat, aku tidak enak untuk mengganggu nya. Oh iya, jangan sampai kamu
ceritakan tentang itu, aku pasti akan malu saat bertemu dengan mereka nanti.”
Ia kembali tertawa, “Baiklah. Sekali
lagi, makasih ya. Hati-hati dijalan, jangan ngebut-ngebut.”
Aku tersenyum mendengar perhatian
yang ia berikan, “Iya, aku engga akan ngebut
kok. Aku kan pengendara yang baik.”
Maulida berseru, “Hubungi aku ya
setelah kamu sampai rumah.”
“Baik, Bu!”, aku tertawa.
Ku hidupkan mesin motor dan mulai
berjalan pulang kerumah. Maulida terlihat senyum sambil melambaikan tangan nya.
Dijalan aku mulai kembali senyum-senyum sendiri mengingat semua yang telah
terjadi hari ini. Entah mengapa, hanya ia yang ada dalam pikiran ku saat ini.
Sebelumnya aku tidak pernah terlalu memikirkan nya seperti ini. Dan aku secara
tidak sadar berteriak dengan keadaan yang masih mengendarai motor, “MONDAY I’M IN LOVE!”.
Aku berjalan dengan pelan di sisi
kiri jalan sekaligus melihat Jakarta pada malam hari, jalanan yang cukup ramai
oleh warga-warga Jakarta yang masih dalam perjalanan pulang dari pekerjaan
mereka masing-masing, bunyi klakson-klakson kendaraan lain saling bersahutan,
polisi yang masih tetap berdiri mengatur lalu lintas yang padat, dan trotoar
yang ramai oleh pedagang. Malam ini tak akan ku lupakan.
Sesampainya dirumah, aku langsung
menghubungi Maulida sesuai janji ku tadi. Dering nada telepon terus terdengar,
masih belum ada jawaban darinya. Aku menutup panggilan tersebut, karena mungkin
ia sedang mandi, makan, atau apapun itu. Lalu, aku mengirim pesan kepadanya dan
mengatakan bahwa aku sudah sampai dirumah. Tidak lama kemudian, ia membalas
pesan tersebut, pesan tersebut berisi :
“Hai!
Maaf ya, tadi handphone-ku ada di kamar, sedangkan aku lagi makan di meja
makan, jadi aku engga tau kalau ada telepon dari kamu. Oh iya, syukurlah kalau
kamu udah dirumah, cepat mandi, makan dan siap-siap untuk tidur. Jangan tidur
larut malam agar besok engga tidur lagi dikantor, hehe.”
Lagi-lagi perhatian nya dapat membuatku
tersenyum gembira. Saat memegang handphone
ini aku teringat untuk menghubungi Pak Andhika. Aku ragu untuk menelpon nya
malam ini, saat ku lihat jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam.
Dengan sedikit keraguan tersebut, akhirnya aku menelponnya.
“Halo, selamat malam, dengan siapa
saya bicara?”, terdengar suara yang sedikit pelan dan berat seperti orang yang
baru saja bangun tidur.
Lalu ku jawab, “Halo, ini Om Andhika?
Saya Dani anak dari Pak Broto.”
“Wah, Dani! Apa kabar? Gimana Ayah
kamu sekarang? Masih sehat seperti dulu?”, suara yang pelan tadi terdengar
berubah menjadi bersemangat.
Mendengar balasan nya, aku pun
sedikit lega karena tidak membuatnya marah, “Saya baik-baik, Om, begitu juga
dengan Ayah yang masih sehat seperti waktu muda.”
“Syukurlah, saya senang mendengarnya.
Oh iya, ada apa kamu menelpon malam-malam seperti ini? Mengganggu saya sedang
tidur saja.”, gurau nya.
Aku tertawa, “Aduh, maaf telah ganggu
tidur Om, saya jadi tidak enak. Karena saya sudah terlalu penasaran dengan apa
tujuan Ayah memberikan saya semua ini, jadi saya menghubungi Om sekarang.”
“Memberikan apa, Dan?”, tanya nya
yang terdengar bingung.
Lantas aku jelaskan semuanya, “Jadi,
hari Minggu kemarin, saya mendapat paket kiriman dari Ayah. Isinya satu kamera
kesayangan nya, 3 lensa, dan sebuah kartu nama Om ini. Saat saya hubungi Ayah,
ia bilang bahwa saya harus menghubungi Om Andhika.”
Ia tertawa, “Akhirnya ia mewariskan
juga kamera itu. Ayah mu dulu pernah berkata bahwa ia akan mewariskan kamera
tersebut ke anak satu-satu nya. Mungkin kamu harus belajar untuk
menggunakannya. Saya punya sekolah fotografi di Blok M, kamu bisa saya ajari
bagaimana menggunakan kamera dengan baik. Jika ada waktu, kamu boleh datang dan
membawa kamera sekaligus 3 lensa tersebut.”
Aku senang mendengar tawarannya,
“Wah! Syukurlah jika Om mau membantu saya menggunakan kamera ini. Kemarin, saat
saya mencoba berfoto-foto dengan kamera ini, hasilnya jelek, tidak ada gambar
yang jelas, semua gambar terlihat buram.”
Ia kembali tertawa, “Kalau seperti
itu, kamu harus belajar dari nol berarti, Nak! Disana kamu bisa berkenalan
dengan murid-murid ku yang lain, kamu bisa belajar menggunakan dan dapat menghasilkan
suatu gambar yang baik nantinya. Mungkin tidak akan saya jelaskan panjang lebar
disini, kamu harus datang ke sekolah fotografi saya untuk lebih jelasnya.”
“Baiklah, Om. Mungkin mereka akan
menertawai saya nanti, jika mereka tau kalau saya adalah seorang anak
fotografer profesional yang tidak bisa mendapatkan satu foto dengan baik.”, aku
tertawa.
Ia pun ikut tertawa, “Hal yang
seperti itu tidak usah dipikirkan, datang saja. Alamat lengkap sekolah fotografi
nya akan saya kirim lewat SMS, sekarang
saatnya orang tua untuk melanjutkan tidurnya, boleh?”
Mendengar kata-kata terakhirnya aku
pun tertawa dan merasa tidak enak, “Boleh, Om. Maaf sudah mengganggu. Terima
kasih untuk tawarannya, saya pasti datang. Mungkin hari Sabtu, saat libur
kantor saya baru bisa kesana.”
“Ok! Saya tunggu kedatanganmu, Nak!”,
jawab nya.
No comments:
Post a Comment